3 Alasan Brahma Aryana Gugat Putusan MK 90, Singgung Ketidakpastian Hukum hingga Konflik Kepentingan
Ini tiga alasan Brahma Aryana menggugat putusan 90 terkait batas usia capres-cawapres yaitu terkait ketidakpastian hukum hingga konflik kepentingan.
Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
TRIBUNNEWS.COM - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) sekaligus penggugat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres-cawapres, Brahma Aryana membeberkan alasannya menggugat putusan tersebut.
Brahma mengatakan ada tiga alasan yang melatarbelakangi dirinya menggugat putusan 90 MK itu yang telah teregister dengan nomor perkara 141/PUU-XXI/2023 tersebut.
Pertama, dia menyebut ada frasa dalam putusan tersebut yang menimbulkan ketidakpastian hukum yaitu soal syarat untuk dapat mengajukan menjadi capres-cawapres adalah kepala daerah yang dipilih lewat pemilihan umum.
"Dalam frasa' yang dipilih melalui pemilihan umum' tidak menyebutkan secara spesifik pada jabatan pada tingkat apa yang dimaksud tersebut," kata Brahma ketika dihubungi Tribunnews.com, Rabu (8/11/2023).
Kedua, tidak tercapainya kuorum terkait komposisi hakim yang mengabulkan gugatan 90 tersebut.
"Komposisi hakim yang mengabulkan. Ada sembilan hakim MK yang menyidangkan perkara tersebut, namun hanya terdapat tiga hakim MK yang menyetujui jabatan di bawah Gubernur, sehingga amar putusan a quo tidak mencapai kuorum persetujuan yang ideal," ujarnya.
Baca juga: Ajukan Gugatan Baru Batas Usia Capres-Cawapres, Mahasiswa Unusia Singgung Sanksi MKMK ke Anwar Usman
Terakhir, sosok yang akrab disapa Bram ini menyebut adanya conflict of interest atau konflik kepentingan dalam putusan 90 tersebut.
Hal itu, sambungnya, terbukti lewat putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Nomor 2 Tahun 2023 yang membuktikan mantan Ketua MK, Anwar Usman melakukan pelanggaran berat.
"Artinya, dalam putusan Nomor 90 tersebut, sudah terbukti bahwa terdapat intervensi kekuasaan dalam prosesnya," tuturnya.
Bram pun mengatakan ketiga alasannya itu sekaligus menunjukkan legitimasi Pemilu 2024 menjadi lemah karena turut memengaruhi terbitnya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 23 Tahun 2023 yang berlandaskan putusan MK yang bermasalah.
"Selain itu, legitimasi salah satu calon pun lemah, karena berangkat dari putusan yang penuh problematika dan pelanggaran etik (terhadap sembilan hakim MK -red)," kata Bram.
Kemudian, Bram menjelaskan bahwa sebenarnya Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sudah tidak perlu untuk digugat lagi.
Namun, lantaran adanya putusan 90 MK itu, justru menjadi aturan yang bermasalah.
"Saya kira Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenari syarat usia 40 tahun adalah sebuah proses panjang dan punya dasar filosofis yang kuat," katanya.
Berangkat dari hal itulah, Bram kemudian mengajukan gugatan baru terkait putusan 90 MK tersebut.
Dia lalu mengambil langkah awal dengan berkonsultasi dengan kuasa hukumnya saat ini, Viktor Santoso Tandiasa.
"Kami beretmu dalam pelatihan PHPU tanggal 16 Oktober 2023 yang diadakan oleh MK. Di sana kami berdiskusi, dan kemudian sepakat untuk maju bersama."
"Saya sebagai pemohon dan Bang Viktor sebagai kuasa hukum saya," katanya.
Jawaban Bram saat Gugatannya Dikabulkan tapi Harus Berlaku di Pemilu 2029
Ketua MKMK, Jimly Asshidiqie sempat mengungkapkan gugatan Bram jika dikabulkan, harus berlaku di Pemilu 2029 karena tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan.
Hal ini disampaikannya dalam konferensi pers seusai sidang etik terhadap sembilan hakim MK di Gedung MK, Selasa (7/11/2023) kemarin.
Menanggapi hal itu, Bram mengaku bingung.
Dia pun lalu mempertanyakan terkait keabsahan putusan 90 yang tetap diputuskan berlaku meski Pemilu 2024 sudah berjalan.
Dia menganggap aturan semacam itu menunjukan adanya standar ganda dalam penerapan putusan MK soal Pemilu.
"Ini juga agak gimana gitu ya, mas. Argumentasi Prof. Jimly ini kan karena permainan (proses pemilu) sudah jalan."
"Lantas, apa bedanya dengan putusan 90 yang merubah peraturan syarat usia calon di tengah proses Pemilu? Mengapa dalam perkara 141 malah dibilang dapat berlaku pada (Pemilu) 2029? Terlihat sekali standar gandanya," ujarnya.
Bram menganggap seharusnya gugatan yang diajukannya ini bisa menjadi solusi untuk mengubah putusan 90 tersebut.
"Seharusnya karena sudah membuktikan bahwa terdapat pelanggaran etik berat dalam putusam 90 terhadap beberapa hakim, justru perkara 141 ini jadi solusi atas putusan yg problematik itu," tegasnya.
Baca juga: Putusan MKMK: Bukti Independensi Hakim Mahkamah Konstitusi Masih Terjaga
Ketika ditanya kecewa atau tidak jika gugatannya dikabulkan tetapi harus berlaku di Pemilu 2029, Bram tidak menjawab dengan gamblang.
Ia hanya mengatakan gugatan yang dilayangkannya untuk memastikan kepastian hukum dan legitimasi Pemilu 2024.
"Kepentingan saya cuma ingin memastikan kepastian hukum dan legitimasi pemilu 2024 agar tidak lemah dan semakin melemah," katanya.
Tak Ada Niat Gagalkan Gibran Jadi Cawapres
Mahasiswa berusia 23 tahun itu pun menegaskan tidak ada niatan untuk menjegal Gibran Rakabuming Raka dalam rangka pencalonannya sebagai cawapres.
Dia mengungkapkan gugatan itu merupakan wujud independensinya sebagai anggota Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP).
"Posisi saya selain sebagai mahasiswa juga sebagai pemantau pemilu di KIPP. Saya kira klir ya mengenai independensi sebagai pemantau," ujarnya.
Dia juga menegaskan tidak ada tendensi politik untuk menggugat putusan 90 tersebut.
"Sebagai pegiat Pemilu, saya sangat menjaga independensi KIPP," ujarnya.
Baca juga: Respon Putusan MKMK, Ini Kata Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto
Sebagai informasi, gugatan Bram tersebut sudah memasuki sidang perdana yang digelar pada Rabu siang tadi.
Dalam gugatannya, Brahma erharap hanya gubernur di bawah usia 40 tahun yang dapat maju capres/cawapres, serta tidak berlaku untuk kepala daerah di bawah level gubernur.
"Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 20l7 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah dimaknai Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No 90/PUU-XXI/2023 terhadap frasa 'yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah' bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai 'yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat provinsi'.
"Sehingga bunyi selengkapnya 'Berusia paling rendah 40 tahun atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat provinsi'," demikian bunyi permohonan Brahma.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Artikel lain terkait Pilpres 2024
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.