Butet hingga Prof Ikrar, Ini Para Tokoh yang Dulu Mendukung Jokowi Kini Kritik Terbuka sang Presiden
Butet, misalnya, menyebut dirinya bukan bermaksud menggurui, tetapi sekadar mengingatkan Presiden Jokowi selagi masih ada kesempatan.
Penulis: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah tokoh nasional mengkritik Presiden Jokowi yang dinilai membiarkan bahkan terkesan memberikan "karpet merah" kepada putranya, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju sebagai cawapres.
Keresahan mereka dipicu Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan uji materi soal usia calon presiden dan calon presiden yang membuat Gibran Rakabuming Raka bisa melenggang ke Pilpres 2024.
kehadiran Gibran di kancah politik nasional dinilai sebagai wujud politik dinasti.
Apalagi putusan Mahkamah Konstitusi itu diketok oleh Anwar Usman yang merupakan adik ipar sang presiden.
Lewat putusan itu MK menambah ketentuan capres-cawapres boleh berusia di bawah 40 tahun asal mempunyai pengalaman menjadi kepala daerah.
Putusan itu dikeluarkan jelang pendaftaran anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang belum berusia 40 tahun sebagai cawapres Prabowo Subianto.
Berikut ini sejumlah tokoh bangsa yang "balik badan" dari barisan pendukung Jokowi.
1. Butet
Seniman Butet Kartaredjasa mengirim surat kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
Butet menyebut dirinya bukan bermaksud menggurui, tetapi sekadar mengingatkan Presiden Jokowi selagi masih ada kesempatan.
Dalam suratnya, Butet mengaku sedih.
Ia membeberkan keresahannya setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan uji materi soal usia calon presiden dan calon wakil presiden yang membuat putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju dalam Pilpres 2024.
Ia berpendapat, jika nantinya Gibran melenggang menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto, itu menjadi awal datangnya bencana moral.
"Rakyat Indonesia bukan orang bodoh yang tak bisa membaca peristiwa. Rakyat punya kecerdasan 'membaca' yang tersembunyi di balik semua itu," kata Butet dalam suratnya, seperti dilansir Kompas.com, Sabtu (21/10/2023).
Butet menyebut dirinya tidak ingin warisan (legacy) yang dibuat Presiden Jokowi akan rontok karena adanya peristiwa tersebut.
Ia pun menjelaskan, sejak tahun 1998 dirinya berjuang demi lahirnya seorang presiden yang patut dijadikan contoh dan teladan.
"Saya sungguh tidak ingin legacy njenengan sebagai 'role model' pemimpin yang baik akan rontok. Sejak 1998, kami berjuang untuk lahirnya seorang presiden yang pantas dijadikan contoh, barometer, tauladan, yang bisa dimiliki bangsa Indonesia sepanjang sejarahnya," ujar Butet.
"Sekarang kami sudah memiliki, yaitu njenengan (Pak Jokowi). Tinggal setahun lagi njenengan bekerja seperti kemarin-kemarin, kebanggaan itu akan abadi," tambahnya.
2. Ikrar Nusa Bhakti
Pakar politik Prof Ikrar Nusa Bhakti mengaku menangis saat menulis sebuah tulisan opini yang diberi judul "Kuasa Memanggul Lupa" di Harian Kompas.
Ia mengaku tidak menyangka Presiden Joko Widodo (Jokowi) sangat berubah dari yang telah dikenalnya selama ini.
Ikrar mengatakan, ia sudah mendukung Jokowi saat ayah Gibran Rakabuming Raka tersebut masih menjadi calon Gubernur DKI Jakarta.
Bahkan, Ikrar tetap mendukung Jokowi ketika dirinya sudah menjadi Duta Besar (Dubes) RI di Tunisia.
Menurut Ikrar, ada beda Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dulu dengan sekarang.
Menurut dia, Presiden Jokowi saat ini dinilai ‘bak raja’
Pernyataannya ini disampaikan Ikrar merujuk pada bagaimana sikap Jokowi di penghujung masa baktinya sebagai kepala negara yang seakan mulai menunjukkan haus kekuasaan.
Mulai dari upaya presiden tiga periode yang kemudian gagal, hingga keterlibatan adik ipar Jokowi, Anwar Usman yang saat itu menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memutus perkara gugatan uji materiil batas usia capres-cawapres.
Putusan itu yang kemudian seolah memberi karpet merah bagi anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka maju sebagai cawapres diusianya yang belum 40 tahun.
Hal ini disampaikan oleh Prof Ikrar saat wawancara khusus dengan News Manager Tribun Network Rachmat Hidayat di Studio Tribunnews.com, Komplek Kompas Gramedia, Palmerah, Jakarta pada Senin (13/11/2023).
“Saya melihat Jokowi ini yang tadinya ‘Jokowi Adalah Kita’ sekarang sudah menjadi ‘Jokowi seperti Raja’. Itu yang saya pikir nggak benar ini,” kata Prof. Ikrar.
Sikap Jokowi tersebut lanjut Prof Ikrar, membuat banyak pihak mengkritiknya. Termasuk dirinya yang sebelumnya mendukung Jokowi, berbalik ikut mengkritik.
“Jadi itulah yang kemudian orang melihat, wah ini bisa bahaya nih. Kalau MK saja suatu lembaga Yudikatif tertinggi di republik ini bisa di mainkan oleh Presiden, apalagi kemudian badan-badan lain,” kritis Prof Ikrar.
Prof Ikrar pun mengaku sebenarnya berharap Presiden Jokowi dalam mengakhiri jabatannya dapat meninggalkan legacy positif atas capaian dan kinerjanya memimpin Indonesia, bukan justru memainkan perannya di Pilpres 2024.
Prof. Ikrar yang dulu turut mengawal langkah Presiden Jokowi, juga merasa kecewa dan khawatir.
Dia menyinggung bagaimana hukum dan aturan dipermainkan di era akhir masa pemerintahan Jokowi.
Goenawan Mohamad, budayawan yang juga pendiri Majalah Tempo, mengungkapkan kekecewaannya terhadap sikap Presiden Joko Widodo yang dinilai ingin memperpanjang kekuasaannya lewat putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka.
Bahkan, Goenawan yang sebelumnya dikenal sebagai pendukung Jokowi tersebut menitikkan air mata ketika menceritakan keresahan hatinya.
"Ya sangat berat. Berat sekali. Bukan karena saya memuja Jokowi. Karena mengharapkan sebenarnya, Indonesia punya pemimpin yang bisa diandalkan kata -katanya," ujar Goenawan dilansir YouTube Kompas TV, Jumat (3/11/2023).
Goenawan kemudian menceritakan pengalaman dari rekannya, yakni Erry Riyana Hardjapamekas yang sempat bertemu Presiden Jokowi sebelum terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memuluskan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres.
Menurut Goenawan, saat itu Erry Riyana berbicara dengan Jokowi soal uji materi terkait syarat usia capres dan cawapres yang sedang berjalan MK.
Saat itu, Presiden sempat menanyakan apa yang harus dia lakukan.
Karena saat itu MK belum membacakan putusan, maka Erry memberi saran agar Presiden Jokowi meminta Gibran tidak usah jadi maju sebagai cawapres.
"Pak Jokowi ini tanya, 'Saya harus kerjakan apa?' Gembira kan Eri, karena (Jokowi dianggap) mendengar (keresahan masyarakat)," ungkap Goenawan.
"Kata Eri, "Gini aja Pak, kalau nanti MK sudah memutuskan, bahwa Gibran lolos, Bapak beritahu Gibran jangan maju, kamu kembali aja ke Solo dan tetap kembali ke PDI-P"," lanjutnya.
Saat itu, Presiden Jokowi memberi respons yang positif terhadap saran dari Erry.
Berdasarkan sikap Jokowi ketika itu, Erry merasa lega karena sarannya didengar dan akan ditindaklanjuti oleh Presiden.
"Setelah itu enggak ada pernyataan soal itu. Karena itu dusta ya," kata Goenawan.
Kenyataannya, Gibran justru memanfaatkan putusan MK yang kontroversial itu untuk mendaftar sebagai cawapres berpasangan dengan Prabowo Subianto.
"Lalu siapa yang bisa kita percaya. KPK tidak bisa dipercaya lagi. MK tidak bisa dipercaya lagi. Presiden yang kita sayangi tidak bisa dipercaya lagi. Lalu siapa? Itu krisis yang serius," ungkapnya.
Putra Presiden pertama RI ini beberapa waktu lalu pernah mengusulkan agar Jokowi setelah selesai masa tugasnya ditetapkan sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan, menggantikan Megawati Soekarnoputri yang saat itu memasuki usia ke-77 tahun.
"Sangatlah bijak bila Megawati Soekarnoputri diberi posisi strategis sebagai Ketua Dewan Pembina PDI Perjuangan dengan tetap mempunyai hak prerogatif sebagaimana semula," ujarnya ketika itu.
Namun, apa yang ada dibenaknya menjadi “rungkad” (berantakan) karena timbulnya masalah menyangkut putra-putra Jokowi, yakni Gibran Rakabuming Raka bahkan Kaesang Pangarep.
"Yang satu urusan menjadi calon wakil presiden (cawapres) dari calon presiden (capres) Prabowo Subianto, yang lainnya “ujug-ujug” diangkat menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI)," tulisnya di sebuah media nasional.
Ia mengaku terkejut dengan kejadian di atas karena pada tanggal 17 Agustus 2023 yang lalu bertemu dengan Jokowi dan menanyakan perihal kebenaran berita-berita tersebut di atas, terutama mengenai pendirian politik Jokowi apakah masih konsisten mendukung Ganjar Pranowo untuk menjadi presiden.
Guntur akhirnya menarik kesimpulan memang sedang terjadi “something wrong” (sesuatu yang salah) dan ini, menurutnya, adalah fakta, bukan sekadar ilusi atau situasi yang digoreng oleh kalangan anti-Jokowi.
"Oleh sebab itu, kondisi ini harus dilawan karena keadaannya sudah membuat negara berada dalam kondisi berbahaya, di mana sebenarnya Presiden harus bertindak cepat untuk mengatasinya."
"Nyatanya tidak demikian, karena justru sikap Presiden yang naga-naganya menjadi penyebab terjadinya keadaan berbahaya tadi," katanya.