Jubir Anies Tengarai Food Estate Gagal karena Salah Konsep
Praktek pertanian food estate dianggap tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia di mana sistem pertanian masih bersifat tradisional
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Praktek pertanian food estate yang dicanangkan oleh Pemerintah Jokowi dan kemudian dilaksanakan oleh Menhan Prabowo Subianto dianggap tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia di mana sistem pertanian masih bersifat tradisional. Karena itu tidak mengherankan kalau food estate yang menghabiskan APBN triliunan rupiah berakhir dengan kegagalan.
Menurut jubir Anies Baswedan, Sulfikar Amir, masalah terletak pada prinsip fundamental praktek food estate di mana produk pangan dilihat semata sebagai komoditas yang bisa dimonetisasi untuk kepentingan profit.
“Jadi pangan tidak dilihat sebagai barang publik yang menjadi hak dasar setiap warga negara. Konsekuensi kebijakan food estate adalah hilangnya peran petani sebagai produsen pangan yang digantikan oleh korporasi yang cenderung melihat alam dan lingkungan sebagai alat produksi semata,” ujarnya, Sabtu (25/11/2023).
Dalam konteks budaya agrarian di Indonesia, lanjut Sulfikar, hal ini sulit untuk dilakukan karena selama ratusan tahun produksi pangan sangat tergantung pada hubungan antara petani dan lahan mereka di mana terbentuk institusi sosial yang menjaga stabilitas pangan dari bawah.
Baca juga: Pakar: Food Estate Militeristik, Tak Demokratis, dan Tak Libatkan Petani
“Proyek food estate menghancurkan itu semua,” tegasnya.
Ia menambahkan, istilah food estate sebenarnya secara epistemologis tidak tepat. Karena itu, ia mengajak publik kembali ke istilah aslinya yakni pertanian korporasi (corporate farming). Konsep corporate farming, kata dia, pertama kali diterapkan di Amerika Serikat yang berhasil menaikkan produktivitas pertanian tetapi dengan beberapa catatan buruk.
“Dalam visi misi AMIN, segala bentuk pertanian korporasi tidak akan diadopsi dan diterapkan. Untuk mencapai kedaulatan pangan, Pemerintahan AMIN akan kembali ke hal yang mendasar di mana petani menjadi subyek utama dalam sistem produksi pangan nasional,” ujarnya.
Pemihakan kepada petani atas lahan mereka, lanjut Sulfikar, akan dibarengi dengan subsidi berbagai kebutuhan pertanian dan sistem distribusi. Kebijakan ini akan membangun stabilitas suplai pangan dari hulu hingga ke hilir. (***Fitrah***)