Ditolak MK, Penggugat Batas Usia Capres-Cawapres dari Unusia Khawatir Ada Dualisme Hukum
Brahma khawatir penolakan gugatan soal batas usia capres-cawapres oleh MK justru bakal menimbulkan dualisme hukum.
Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Whiesa Daniswara
TRIBUNNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak gugatan terkait batas usia capres-cawapres dengan nomor perkara 141-PUU/XXI/2023 pada Rabu (29/11/2023).
"Amar putusan, mengadili dalam provisi, menyatakan permohonan provisi tidak dapat diterima. Dalam pokok permohonan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK, Suhartoyo.
Pasca putusan tersebut, penggugat yaitu mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama (Unusia), Brahma Aryana pun angkat bicara.
Awalnya, Brahma mengaku kecewa atas putusan MK terhadap gugatannya tersebut.
Namun, dia mengatakan terpaksa harus menerimanya lantaran sudah menjadi putusan peradilan yang final dan mengikat.
"Terhadap putusan kemarin, dengan sangat terpaksa dan kecewa, ya saya menerima putusan 141 ini. Karena mau bagaimanapun itu sudah menjadi putusan peradilan," kata Brahma kepada Tribunnews.com, Kamis (30/11/2023).
Baca juga: Putusan MK tentang Batas Minimal Usia Cawapres Dinilai Puncak Praktik Politik Dinasti di Indonesia
Kendati menerima, mahasiswa yang akrab disapa Bram ini menilai putusan MK tersebut menjadi wujud inkonsistensi lembaga itu dalam mengambil putusan.
Pernyataannya itu mengacu pada argumen hakim konstitusi dalam putusan 29, 51, dan 55 yang juga terkait dengan gugatan batas usia capres-cawapres.
Dalam putusan tiga gugatan tersebut, hakim menyebut aturan terkait batas usia capres-cawapres merupakan kewenangan dari pembentuk undang-undang (UU) atau open legal policy yaitu DPR ataupun Presiden.
Namun, dalam gugatan 90 MK, Brahma mengatakan adanya perubahan pendirian oleh MK di mana membuat poin baru soal aturan batas usia capres-cawapres yaitu berusia minimal 40 tahun atau pernah atau sedang menjadi kepala daerah yang dipilih lewat pemilihan umum.
"Tetapi kemudian dalam putusan 90 MK berubah pendirian dengan kemudian membuat rumusan syarat alternatif terhadap usia 40, yakni orang yg pernah/sudah menduduki jabatan elected official," ujarnya.
Kini, kata Bram, putusan MK terhadap gugatannya justru kembali menggunakan argumen hukum bahwa aturan batas usia capres-cawapres adalah open legal policy.
Dia pun menilai adanya keanehan lain terkait putusan MK terhadap gugatannya, di mana salah satu pertimbangan hukum yang disampaikan adalah bahwa syarat alternatif batas usia-capres-cawapres yaitu 40 tahun dan menjabat sebagai gubernur.
"Karena menurut MK, tingkat gubernur itu tidak terlalu jauh dengan Presiden dan tingkat provinsi itu seperti miniatur negara dalam skala yang lebih kecil," kata Brahma.
Baca juga: MK Tolak Gugatan Syarat Batas Usia Capres Cawapres yang Diajukan Mahasiswa Unusia
Namun, Bram menyayangkan, meski ada pendapat hukum semacam itu, MK justru menyatakan gugatannya tidak beralasan menurut hukum.
"Padahal, dalam pemohonan pun saya meminta syarat alternatif usia 40 adalah ia yang berpenglaman sebagai gubernur," tuturnya.
Dengan adanya putusan ini, Bram menilai adanya dualisme hukum yang mengikat.
"(Dualisme hukum yaitu) pertama, putusan 90, dengan mengatakan alternatif usia 40 yaitu jabatan yang dipilih melalui pemilu (elected official), dan kedua, dalam pertimbangan hukum (putusan) 141 menegaskan alternatif usia 40 adalah jabatan gubernur," kata Bram.
Dualisme hukum ini, kata Bram, menunjukkan MK terbelenggu dengan nepotisme dari penguasa.
"Dan mirisnya lagi, kesemua proses ini dipertontonkan secara vulgar kepada publik, bagaimana peradilan konstitusi terbelenggu oleh rancangan nepotisme penguasa," pungkasnya.
Sebelumnya, Bram, lewat gugatannya, berharap hanya gubernur yang belum berusia 40 tahun yang bisa maju capres-cawapres dan tidak berlaku untuk kepala daerah yang levelnya di bawah gubernur.
"Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 20l7 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah dimaknai Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No 90/PUU-XXV2A23 terhadap frasa 'yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah' bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai 'yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi'."
"Sehingga bunyi selengkapnya 'Berusia paling rendah 40 tahun atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi'," demikian bunyi permohonan Brahma.
Salah satu alasan pengajuan gugatan itu adalah latar belakang putusan MK yang membuat pro-kontra.
"Terdapat persoalan konstitusionalitas pada frasa 'yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'. Di mana tidak terdapat kepastian hukum pada tingkat jabatan apa yang dimaksud pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.
"Sehingga timbul pertanyaan, apakah hanya hanya pada pemilihan kepala daerah tingkat provinsi saja? Atau juga pada pemilihan kepala daerah tingkat kabupaten/kota? Atau pada pemilihan kepala daerah tingkat provinsi maupun kabupaten/kota? Demikian pula pada pemilu pada pemilihan DPR saja? Atau pada tingkat DPRD tingkat provinsi saja? Atau kabupaten/kota saja? Atau pada kesemua tingkatannya, yakni DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota?" tanya Brahma.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Artikel lain terkait Pilpres 2024
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.