Penegakan Hukum dalam 'Dinasti Politik' Jokowi di Tengah Pencalonan Gibran sebagai Cawapres
Bagaimana penegakan hukum di Indonesia di tengah isu dinasti politik Jokowi dalam pencalonan Gibran di Pilpres 2024?
Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Di tengah gegap gempita menjelang Pemilu 2024 yang bakal digelar pada 14 Februari 2024 mendatang, terjadi isu yang bergejolak dalam prosesnya di masyarakat yaitu isu dinasti politik Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Isu ini semakin santer dibicarakan ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan dari mahasiswa Universitas Surakarta (Unsa), Almas Tsaqibbirru terkait batas usia capres-cawapres yaitu kepala daerah di bawah 40 tahun atau dipilih lewat pemilihan umum dapat menjadi capres-cawapres.
Putusan ini pun disinyalir oleh banyak pihak sebagai langkah memuluskan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka untuk bisa mencalonkan diri dalam Pilpres 2024.
Tak ayal, putusan yang diketok MK pada 16 Oktober 2023 itu mengantarkan Gibran menjadi cawapres Prabowo Subianto.
Baca juga: Adik Prabowo Muak Lihat Jokowi Terus Dikritik: Yang Nyerang Dinasti Politik Pertama di Indonesia
Isu dinasti politik Jokowi itu pun semakin ramai ketika sosok yang mengabulkan gugatan Almas adalah Ketua MK saat itu sekaligus paman Gibran dan ipar Jokowi, Anwar Usman.
Seperti diketahui, pasca putusan itu, Anwar pun dipecat sebagai Ketua MK oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pimpinan Jimly Ashiddiqie pada 7 November 2023 lalu lantaran
Kendati Anwar dipecat buntut putusan itu yang dilaporkan berbagai elemen masyarakat, putusan soal batas usia capres-cawapres itu tetap tidak gugur.
Di sisi lain, pasca putusan MK ini, banyak kalangan juga menyoroti upaya penegakan hukum ketika anak Jokowi itu menang di Pilpres 2024.
Hal tersebut lantaran putusan MK itu dinilai sebagai langkah intervensi Jokowi lewat iparnya Anwar Usman untuk melanggengkan Gibran dalam kontestasi Pilpres 2024.
Hukum hanya Untuk Mainan Politik
Kekhawatiran di atas pun disampaikan oleh Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan.
Hasan menilai pasca putusan MK tersebut, instrumen hukum hanya dijadikan permainan politik saja demi keuntungan segelintir elite yang dekat dengan kekuasaan.
"Setelah intervensi di MK dalam Putusan 90/2023 untuk memuluskan kandidasi Gibran sebagai cawapres, saya melihat kecenderungan hukum dijadikan mainan politik, sekedar alat legitimasi untuk kepentingan kekuasaan politik rezim dan elite politik yang berada dalam lingkaran kekuasaan atau mendukung kekuasaan rezim," katanya kepada Tribunnews.com, Kamis (7/12/2023).
Baca juga: Demokrat Sebut Isu Dinasti Politik untuk Turunkan Eksistensi Prabowo-Gibran: Rakyat Sudah Paham
Hasan pun melihat adanya dua kecenderungan utama terkait penegakan hukum di era pemerintahan Jokowi pasca putusan MK itu.
Pertama, hukum akan lebih banyak ditundukkan oleh kekuasaan politik dan politik kekuasaan.
"Kedua, hukum akan dijadikan sebagai sandera politik untuk merawat dukungan politik dair elite-elite yang memiliki masalah hukum," katanya.
Hasan pun menilai sudah ada indikasi-indikasi yang terlihat untuk melanggengkan dinasti politik Jokowi dalam konteks hukum.
Menurutnya, yang paling kentara adalah putusan MK terkait batas usia capres-cawapres.
Kedua adalah adanya mobilisasi polisi untuk melakukan intimidasi kepada tim sukses (timses) pasangan lain.
"Ketiga, penegakan hukum yang tidak proporsional oleh aparat penegak hukum yang targetnya agar kepala desa-kepala desa memenangkan pasangan nomor urut 2 (Prabowo-Gibran)," tuturnya.
Senada, pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti mengkhawatirkan digunakannya hukum sebagai alat untuk melakukan ancaman khususnya di tengah proses pelaksanaan Pemilu 2024 ini.
Pernyataan Bivitri ini berkaca dari pandangannya yang menyebut bahwa putusan MK itu merupakan intervensi Jokowi untuk memuluskan langkah Gibran sebagai cawapres.
"Namanya penegak hukum tentu saja bisa menggunakan hukum untuk melakukan ancaman-ancaman yang sifatnya akan mengancam situasi demokrasi dan mengancam orang-orang yang bersikap netral tetapi jadinya kalau tidak mendukung pasangan tertentu, menjadi bisa diancam," katanya pada Tribunnews.com, Rabu (6/12/2023).
Baca juga: Prabowo Akui Dinasti Politik Hal yang Biasa: Kalau Elo Boleh, Kalau Kita Nggak Boleh, Enak Aja
Bivitri mengatakan meski ancaman secara vis a vis belum pernah terjadi, tetapi sudah banyak masyarakat yang menceritakan bahwa adanya ancaman-ancaman untuk memilih paslon tertentu dalam Pilpres 2024.
"Belum tentu (pengancaman) terjadi. Tapi kan ancaman itu rill ya, orang tuh kalau diancam dengan hukum, itu sudah banyak sekali ceritanya," ujarnya.
Dinasti Politik Jokowi Bersifat Destruktif untuk Penegakan Hukum
Sementara menurut peneliti Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rozy Brilian mengungkapkan dinasti politik Jokowi bakal berdampak terhadap penegakan hukum dengan menjadikannya bersifat destruktif.
Rozy menilai hal tersebut terlihat jelas lewat putusan MK yang dianggapnya menerabas perundang-undangan meski diajukan lewat cara formal.
"Sebetulnya jika menilik aspek penegakan hukum, dampak politik dinasti ini akan sagnat berbahaya dan destruktif sebab Gibran maju dengan menerabas ketentuan perundang-undangan lewat prosedur formal yakni MK," tuturnya.
Baca juga: Bara JP Tidak Setuju Bila Jokowi Disebut Bangun Dinasti Politik
Rozy mengatakan pihaknya khawatir ketika Gibran bersama dengan Prabowo terpilih dalam Pilpres 2024, maka agenda penegakan hukum akan bersifat kompromistis.
"Ketika ada kehendak kekuasaan yang tidak sesuai dengan bunyi UU, maka UU-nya yagn akan diubah alih-alih normanya yang dipatuhi," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)