Pemilu 2024 Dinilai Sebagai Ujian Bagi Integritas Bawaslu, Apa Faktornya?
Bawaslu harus bergerak proaktif, mengulik indikasi-indikasi pelanggaran yang terjadi secara langsung. Kalaupun memang Bawaslu tak dapat bersentuhan
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Acos Abdul Qodir
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyelanggaraan Pemilihan Umum 2024 dinilai sebagai ujian berat bagi integritas Badan Pengawas Pemilu. Apa faktornya?
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam perturannya secara resmi memberikan izin kampanye kapada peserta Pemilu mulai tanggal 28 November 2023.
"Memanfaatkan waktu yang relatif singkat itu, peserta-peserta Pemilu langsung tancap gas mengkampanyekan visi dan misi mereka untuk menarik hati masyarakat yang mempunyai hak pilih," kata eks Wasekjend PB HMI dan mahasiswa Pascasarjana IPB University, Oktaria Saputra, dalam rilisnya, Minggu (10/12/2023).
Khususnya, lanjut dia, untuk para Capres-Cawapres, mereka melakukan konsolidasi dan blusukan di mana-mana, di berbagai wilayah tanah air.
"Uniknya dalam pelaksanaan kampanye itu, beberapa nama kandidat di pertarungan Pilpres masih berstatus sebagai pejabat negara. Sebut saja ada nama Prabowo Subianto Menteri Pertahanan, Mahfud MD Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM, Gibran Rakabuming Raka selaku Walikota Solo," katanya.
Di pesta demokrasi sebelumnya, Sandiaga Uno misalnya mengundurkan diri dari jabatan Wakil Gubernur DKI untuk fokus pada pencalonannya, dan menghindari penyalagunaan fasilitas negara untuk kepentingannya sebagai kandidat.
"Tindakan tersebut yang harus patut dicontohi oleh para kandidat yang saat ini bertarung," tambah Oktaria.
Selain itu ketika berbicara di hadapan publik, masyarakat sulit menilai, apa yang disampaikan oleh kandidat bersangkutan dalam statusnya sebagai pejabat negara atau calon presiden dan wakil presiden.
Pasalnya yang terjadi, tujuan politik untuk menarik dukungan para kandidat yang masih berstatus pejabat negara itu kerapkali mengandung kontroversi yang sebenarnya pelanggaran yang dilakukan sudah terjadi secara gamblang.
"Jangan fasilitas semacam kantor, fasilitas seperti peralatan komunikasi, internet, peralatan transportasi dan fasilitas lainnya. Itu dilarang untuk digunakan," terang Oktaria.
Baca juga: KontraS: Tiga Capres Tak Serius Tuntaskan Permasalahan HAM
Jadi, kalau ditelisik lebih dalam lagi, pelanggaran semacam itu banyak yang telah terjadi.
Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 4 tahun 2017 Tentang Pemilu, menyebutkan bahwa pasangan calon yang menduduki jabatan sebagai pejabat negara dilarang menggunakan fasilitas negara selama masa kampanye.
Yang dimaksud fasilitas negara di sini adalah fasilitas yang pembiayaannya bersumber dari APBN dan APBD. Dalam hal pengawasan dan pemantauan Pemilu, secara yuridis diamanahkan kepada Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu).
"Sebagai lembaga yang diberikan wewenang primer, Bawaslu harus tegas tanpa tebang pilih memberantas pelanggaran-pelanggaran dalam Pemilu, termasuk penggunaan fasilitas negara untuk kampanye," terang Oktaria.
Apabila penggunaan fasilitas negara berlarut-larut terus terjadi, maka wajar saja kalau muncul pandangan dari masyarakat mengenai integritas Bawaslu. Jangan sampai, lanjut Oktaria, masyarakat dan lembaga partisipan Pemilu lainnya memiliki suara yang lebih lantang dari pada Bawaslu dalam menyuarakan pelanggaran-pelanggaran semacam itu.
Baca juga: Khawatir Alihkan Fokus, KPU Pertimbangkan Boleh Tidaknya Tim Pasangan Calon Bawa Atribut Saat Debat
Bawaslu harus bergerak proaktif, mengulik indikasi-indikasi pelanggaran yang terjadi secara langsung. Kalaupun memang Bawaslu tak dapat bersentuhan langsung dengan pelanggaran yang muncul. Setidaknya setiap pengaduan oleh masyarakat harus ditindaklanjuti, ditelusuri secara mendalam.
"Kalau memang terdapat pelanggaran, dalam hal ini penggunaan fasilitas negara untuk kampanye, Bawaslu harus tegas dan berani memberikan sanksi kepada pihak bersangkutan yang melakukan pelanggaran, yang beratnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku," tambah Oktaria.