Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Hakim Konstitusi Guntur Hamzah: MK Harus Menahan Diri untuk Tidak Melakukan Langkah Hukum Progresif

Guntur menegaskan, putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 bersifat final dan berkekuatan hukum mengikat.

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Hakim Konstitusi Guntur Hamzah: MK Harus Menahan Diri untuk Tidak Melakukan Langkah Hukum Progresif
Tribunnews.com/Ibriza Fasti Ifhami
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan uji formil Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana tepah dimaknai Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat batas minimal usia capres/cawapres. 

Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Konstitusi Guntur Hamzah mengatakan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerapkan judicial activism atau langkah hukum progresif.

Hal itu disampaikan Hakim Guntur Hamzah, dalam sidang pembacaan putusan Perkara 145/PUU-XXI/2023, di ruang sidang Gedung MK, Jakarta Pusat, pada Selasa (16/1/2024).

Baca juga: BREAKING NEWS MK Tolak Uji Formil Batas Usia Capres/Cawapres yang Diajukan Denny Indrayana

Perkara tersebut merupakan permohonan uji formil pasal 169 huruf q undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu sebagaimana dimaknai putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023, yang diajukan dua pakar hukum tata negara, yakni Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar.

"Khusus persoalan a quo, Mahkamah pada akhirnya harus dapat menahan diri untuk tidak aktif melakukan langkah hukum progresif ataupun sebagaimana yang diinginkan Pemohon," kata Guntur, dalam persidangan, Selasa ini.

"Penting bagi Mahkamah untuk menegaskan langkah judicial activism tidak dapat serta merta dijadikan penilaian untuk memenuhi 'desakan' para pencari keadilan," sambungnya.

Lebih lanjut, Guntur menegaskan, putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 bersifat final dan berkekuatan hukum mengikat.

Berita Rekomendasi

Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya prmohonan uji formil Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana telah dimaknai Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat batas minimal usia capres/cawapres.

Sidang pembacaan putusan ini dihadiri oleh delapan hakim, kecuali Anwar Usman. Hal tersebut sesuai Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dan permohonan Para Pemohon untuk tidak melibatkan adik ipar Presiden Joko Widodo itu ikut menangani Perkara 145/PUU-XXI/2023 ini.

"Dalam provisi, menolak permohonan provisi Para Pemohon," kata Ketua MK Suhartoyo, dalam sidang pembacaan putusan, di Gedung MKRI, pada Selasa (16/1/2024).

"Dalam pokok permohonan, menolak permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya," sambung Suhartoyo.

Adapun dalam petitum provisi usai mengajukan perbaikan permohonan, Denny dan Zainal meminta agar MK menyatakan menunda berlakunya ketentuan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182 tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 6109) sebagaimana dibuat oleh MK melalui Putusan 90/PU-XXI/2023.

Kemudian, meminta MK agar menyatakan menangguhkan tindakan/kebijakan yang berkaitan dengan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 6109) sebagaimana dibuat oleh MK melalui Putusan 90/PU-XXI/2023.

Selain itu, Pemohon meminta MK memeriksa permohonan mereka secara cepat dengan tidak meminta keterangan kepada MPR, DPR, Presiden, DPD, atau pihak terkait lainnya.

Baca juga: Sidang Putusan Batas Usia di MK, Denny Indrayana dan Zainal Arifin Tak Hadir Langsung

Mereka juga meminta MK memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan tersebut tanpa campur tangan Hakim Konstitusi Anwar Usman.

Sedangkan dalam petitumnya, Denny dan Zainal meminta MK mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya.

"Menyatakan pembentukan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 6109) sebagaimana dibuat oleh MK melalui Putusan 90/PUU-XXI/2023 tidak memenuhi syarat formil berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," demikian bunyi petitum Pemohon dalam Surat Perbaikan Permohonan, dikutip dari laman MKRI, pada Senin (15/1/2024).

Tak hanya itu, Denny dan Zainal meminta MK memerintahkan kepada penyelenggara Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI tahun 2024 untuk mencoret peserta pemilu yang mengajukan pendaftaran berdasarkan pada Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilhan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 109 ) sebagaimana dibuat oleh MK melalui Putusan 90/PU-XXI/2023, akibat telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

"Atau menetapkan agenda tambahan khusus bagi peserta pemilu yang terdampak untuk mengajukan calon pengganti dalam rangka melaksanakan putusan ini dengan tidak menunda pelaksanaan Pemilu 2024," kata Para Pemohon.

Diberitakan sebelumnya, Hakim Konstitusi Arief Hidayat memberikan saran kepada kuasa hukum Pemohon permohonan uji formil syarat batas usia capres-cawapres yang telah dimaknai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 90/PUU-XXI/2023.

Arief mulanya mengaku berterima kasih kepada Para Pemohon dan kuasa hukumnya karena permohonan yang diajukan mereka mengajak bersama-sama untuk berpikir menggunakan paradigma hukum progresif, bukan normatif.

"Karena kita kalau menggunakan pendekatan normatif formalistik saya kira Para Pemohon principal dan para kuasa hukumnya tahu persis perkara ini muaranya akan di mana. Ya kan," kata Arief Hidayat, dalam sidang pendahuluan di gedung MK, pada Selasa (28/11/2023).

"Oleh karena itu, saya meminta supaya kita bersama-sama bisa menggunakan pendekatan yang lain supaya kita bisa keluar dari kondisi yang terjadi akhir-akhir ini, yang menimpa MK, yang menimpa putusan MK, dan menimpa proses bernegara hukum secara demokratis di Indonesia," sambungnya.

Hal itu disampaikan Arief, karena menurutnya, permohonan uji formil yang diajukan Denny dan Zainal ini merupakan sesuatu yang beda, karena menguji formil terhadap Putusan MK.

"Ini pengujian formil, pengujian formil itu terhadap UU yang dibentuk oleh badan legislatif. Tapi ini menguji formil terhadap putusan Mahkamah. Itu kan sangat lain," jelasnya.

Meski demikian, Arief mengatakan, permohonan yang diajukan ini masih banyak kelemahannya. Majelis Panel memberikan batas waktu perbaikan permohonan hingga 6 Desember 2023 mendatang.

Lebih lanjut, Arief kemudian menjelaskan soal pendekatan hukum progresif. Ia menyampaikan pendapat dari ahli hukum Satjipto Rahardjo, bahwa hukum tidak semata-mata untuk hukum itu sendiri, manusia bukan untuk hukum tapi hukum untuk manusia.

"Supaya bagaimana perikehidupan yang demokratis, perikehidupan negara hukum itu bisa mencapai keadilan yang sangat substantif," katanya.

Oleh karena itu, ia meminta seluruh pihak terkait untuk mengkaji perkara ini menggunakan pendekatan yang bersifat progresif atau out of the box.

"Kita harus keluar menggunakan pendekatan yang sifatnya out of the box. Kalau kita menggunakan pendekatan yang linear bukan pendekatan eksponensial, ini selesai udah selesai (permohonannya), ini enggak ada masalah, ini pasti arahnya ke mana sudah Anda ketahui," ucap Arief.

Baca juga: Pekan Depan Dilantik Jadi Hakim MK, Formappi Harap Arsul Sani Jaga Independensinya

"Tapi mencoba saudara dengan permohonan ini mau keluar dari situ. Nah keluarnya itu kuncinya menurut saya pendekatan yang sifatnya out of the box, pendekatan eksponensial tidak linear," sambungnya.

Selanjutnya, ia meminta kuasa hukum Para Pemohon untuk mengkaji lebih lanjut pengalaman-pengalaman di negara lain terkait pengujian formil terhadap putusan Mahkamah.

"Sehingga mari kita tunjukkan kepada bangsa Indonesia kita bisa sebetulnya untuk belajar bersama menggunakan pendekatan progresif. Hakim MK diajak untuk keluar dari itu untuk mengutamakan rasa keadilan yang substansional," kata Arief.

"Karena pertama kali adanya syarat pengujian UU yang dilakukan hakim John Marshall itu kan sebetulnya bersifat out of the box, waktu itu belum ada, tapi hakim Mahkamah Agung Amerika John Marshall memulai itu," sambungnya.

"Nah inilah tonggak apakah bisa Mahkamah Konstiusi RI keluar dari itu. Hakim Konstitusi berani untuk keluar seperti John Marshall itu."

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Terkait

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas