Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Soal Presiden Boleh Kampanye, Pengamat: Rakyat Butuh Pemimpin Negarawan dan Berintegritas

Presiden Joko Widodo dan pejabat pemerintah sebaiknya mengundurkan diri jika memihak capres/cawapres tertentu dan ingin berkampanye.

Penulis: Erik S
Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Soal Presiden Boleh Kampanye, Pengamat: Rakyat Butuh Pemimpin Negarawan dan Berintegritas
Tribunnews.com/Taufik Ismail
Presiden Jokowi didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto berbicara kepada pers usai menyaksikan penyerahan sejumlah Alutsista yang kepada TNI di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1/2024). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo dan pejabat pemerintah sebaiknya mengundurkan diri jika memihak capres/cawapres tertentu dan ingin berkampanye.

Sebab jika tidak, hal itu merupakan kebohongan publik, karena sebelumnya Jokowi sudah mengatakan dirinya maupun pemerintah akan netral dalam pilpres.

Sikap akan netral itu pernah disampaikan dalam berbagai kesempatan, baik pada 30 Oktober 2023 ketika menjamu makan siang ketiga capres dan dalam pidatonya pada 1 November 2023 lalu.

Demikian pendapat ketua lembaga kajian Sabang Merauke Circle, Syahganda Nainggolan, dalam merespons pernyataan terbaru Jokowi soal netralitas presiden dan pejabat negara pada pilpres 2024.

jika Jokowi tidak menjaga netralitas, Syahganda menilai bahwa pemerintah tidak mungkin berjalan dengan baik, karena potensi penggunaan kekuasaan negara serta pemerintahan akan terseret dalam urusan copras-capres.

"Padahal rakyat membutuhkan pemimpin negarawan dan berintegritas pada situasi pertarungan Pilpres maupun pemilu saat ini, demi menjaga situasi damai dan terkendali," kata Syahganda dalam keterangannya, Jumat (26/1/2024).

Baca juga: KPU Tegaskan Presiden Jokowi Wajib Cuti Jika Ingin Kampanye, Istana Beri Respons

Dalam kesempatan terpisah, Ahmad Yani, ketua partai Masyumi menyatakan bahwa tidak netralnya presiden Jokowi jelas-jelas telah memenuhi unsur pasal pemakzulan, baik pasal 7 maupun pasal 9 UUD 45.

Berita Rekomendasi

Oleh karena pasal itu mengharuskan presiden harus melaksanakan konstitusi secara selurus-lurusnya, seadil-adilnya dan sejujur-sejujurnya. Bagaimana dia bisa berlaku adil, jujur dan lurus jika dia memihak pada capres-cawapres 02, yang ada anaknya di sana.

Yani menghimbau kepada dewan perwakilan rakyat untuk saatnya menjaga kewibawaan konstitusi dengan menggunakan haknya yakni hak menyatakan pendapat (HMP). HMP itu menyatakan presiden Jokowi telah menabrak konstitusi.

Pendapat pakar hukum tata negara

Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah memenuhi syarat dimakzulkan.

Bivitri lantas mengutip Pasal 7A Undang-undang Dasar (UUD) 1945 terkait syarat pemakzulan, yang berbunyi:

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Menurutnya, Jokowi telah melakukan perbuatan tercela dengan mengatakan presiden boleh berkampanye dan memihak selama Pemilu.

Terlebih, pernyataan itu diucapkan Jokowi saat didampingi petinggi militer.

"Kan Pasal 7A UUD itu tentang syarat pemakzulan. Di titik itu menurut saya perbuatan tercela," ujar Bivitri, Kamis (25/1/2024).

Bivitri kemudian menyinggung status Jokowi sebagai seorang presiden.

Dalam ilmu tata negara, kata dia, perbuatan tercela seseorang dilihat dari jabatan.

"Di hukum tata negara prinsipnya orang itu menilai harus dari jabatan. Jadi berbeda perbuatan tercela orang biasa dengan seorang presiden atau menteri," imbuhnya.

Terkait pernyataan presiden boleh kampanye, Bivitri menyebut Jokowi telah salah menafsirkan Undang-undang Pemilu.

Dalam Pasal 299 memang tertera bahwa Presiden dan Wakil Presiden berhak untuk kampanye.

Namun, apabila merujuk pada pasal selanjutnya yakni Pasal 300, 301, dan 302 dijelaskan bahwa yang diperbolehkan kampanye dalam hal ini adalah presiden dan wakil prediden petahana yang kembali maju dalam Pemilu selanjutnya.

"Nah jadi kalau dilihat lagi pasal berikutnya, 300, 301, 302 itu kebaca. Itu akan kebaca intensi pasal itu. Sehingga Jokowi tidak bisa bilang dia berhak berkampanye," ujarnya.

Sementara saat ini, Jokowi bukanlah peserta Pemilu, melainkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka yang dipilih menjadi cawapres Prabowo Subianto.

Karena itu, menurut Bivitri, Jokowi tidak seharusnya menyatakan pernyataan tersebut karena bisa meguntungkan Prabowo dan Gibran.

Bivitri lantas menilai Jokowi telah memenuhi syarat untuk dimakzulkan karena telah melanggar undang-undang.

"Sebenarnya kan diatur secaa jelas di Pasal 282 dan 283 bahwa pejabat negara itu tidak boleh melakukan tindakan dan lain sebagainya yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta selama kampanye. Jadi sudah melanggar belum? Sudah. Apakah itu kemudian bisa kita dorong sampai pemakzulan? Menurut saya sih bisa," paparnya.

Kata Istana

Istana Kepresidenan melalui Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, menjelaskan maksud pernyataan Joko Widodo (Jokowi) terkait presiden boleh memihak dan berkampanye dalam pemilihan umum (pemilu) banyak disalahartikan.

Menurutnya, apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi itu untuk menjawab pertanyaan dari awak media soal menteri yang ikut berkampanye.

"Apa yang disampaikan oleh Presiden dalam konteks menjawab pertanyaan media tentang menteri yang ikut tim sukses," kata Ari, Kamis (25/1/2024).

Berdasarkan penuturan Ari, dalam menjawab pertanyaan itu, Presiden Jokowi kemudian menjelaskan aturan main bagi menteri maupun presiden dalam berdemokrasi.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 281 di UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, kampanye pemilu boleh mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, kepala daerah, dan wakil kepala daerah.

"Artinya, presiden boleh berkampanye. Ini jelas ditegaskan dalam UU," terang Ari.

Meski begitu, ada syarat yang mesti dipenuhi apabila presiden ikut berkampanye dan mendukung salah satu pasangan calon (paslon).

Presiden dilarang menggunakan fasilitas negara dan harus mengajukan cuti.

"Tapi, memang ada syaratnya jika presiden ikut berkampanye."

"Pertama, tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sesuai aturan yang berlaku. Dan kedua, menjalani cuti di luar tanggungan negara," ujarnya.

Ari mengatakan dengan diperbolehkannya Presiden berkampanye maka ia diizinkan memiliki referensi politik pada partai atau pada pasangan Capres-Cawapres.

"Artinya Undang-Undang Pemilu juga menjamin hak presiden untuk mempunyai preferensi politik pada partai atau pasangan calon tertentu sebagai peserta pemilu yang dikampanyekan, dengan tetap mengikuti pagar-pagar yang telah diatur dalam UU," ujarnya.

Lebih lanjut, Ari menyatakan apa yang disampaikan Presiden Jokowi bukanlah hal baru. Aturan terkait sikap presiden dalam pemilu telah diatur dalam UU Pemilu.

Dia memaparkan, dalam sejarah pemilu setelah Reformasi, presiden-presiden sebelumnya juga memiliki referensi politik, bahkan mereka ikut berkampanye.

"Presiden-presiden sebelumnya, mulai Presiden ke-5 dan ke-6, yang juga memiliki preferensi politik yang jelas dengan partai politik yang didukungnya dan ikut berkampanye untuk memenangkan partai yang didukungnya," jelasnya

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas