Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ikrar Nusa Bhakti Nilai Usulan Aturan 'Pemincangan' Presiden Perlu Direalisasikan

Usulan tersebut sebelumnya disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin, dalam sebuah forum diskusi yang digelar beberapa waktu lalu.

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Ikrar Nusa Bhakti Nilai Usulan Aturan 'Pemincangan' Presiden Perlu Direalisasikan
TRIBUNNEWS/IMANUEL NICOLAS MANAFE
Profesor Ikrar Nusa Bakti. 

Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti menilai usulan aturan lame duck atau 'pemincangan' presiden perlu direalisasikan.

Usulan tersebut sebelumnya disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin, dalam sebuah forum diskusi yang digelar beberapa waktu lalu.

"(Aturan 'pemincangan' presiden) oh perlu. Yang diusulkan oleh Zainal Arifin Mochtar itu memang perlu," kata Ikrar, kepada wartawan di Jakarta Pusat, pada Senin (5/2/2024).

Ia menjelaskan, seorang presiden yang masih berkuasa sejatinya tidak boleh mencalonkan keluarganya dalam pemilihan umum.

Hal ini diduga terkait majunya putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, sebagai cawapres pendamping Prabowo Subainto di Pilpres 2024.

Dalam hal ini, kata Ikrar, aturan 'pemincangan' presiden dianggap perlu agar presiden tidak dapat mengambil keputusan secara sewenang-wenang.

Berita Rekomendasi

"Pengurangan kekuasaan pada presiden itu memang perlu dilakukan, supaya misalnya presiden itu tidak bisa mengambil keputusan seenak udalnya," jelas Ikrar.

Lebih lanjut, ia memberikan contoh mengenai Presiden Jokowi sebagai petahana, yang diduga membagikan bantuan sosial (bansos) untuk masyarakat dalam rangka pencalonan Gibran.

"Pembagian bansos di kala proses pemilihan umum itu sedang berlangsung sudah jelas-jelas itu adalah money politics atau pork barrel politics, dimana orang-orang dibagi beras," kata Ikrar.

Ia kemudian menyoroti adanya problem terkait data masyarakat penerima bansos di Kementerian Sosial.

"Maksud saya, Kementerian Sosial mengatakan 18 juta orang (penerima bansos), tapi ternyata dari data yang sekarang dikeluarkan 22 juta orang," jelasnya.

Oleh karena itu, menurutnya, pembagian bansos yang dilakukan Jokowi saat ini terkesan tidak merata.

"Maksud saya, kayak sekarang lebih banyak dibagi di Jawa Tengah," kata Ikrar.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas