'Pemilu 2024 Brutal, Kejam dan Timbulkan Luka Menganga'
Lebih lanjut, mantan Staf Khusus Jaksa Agung ini menyebut mekanisme checks and balances dalam sistem pemerintahan presidensial hanyalah isapan jempol.
Penulis: Yulis Sulistyawan
Editor: Acos Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengamat politik dan ekonomi Ichsanuddin Noorsy menilai Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 merupakan pemilu yang brutal dan kejam serta membuat luka rasa keadilan masyarakat menganga.
Menurut mensinyalir kecurangan pada Pemilu 2024 melibatkan aparat dan didesain melalui kebijakan dan meluas, sehingga merupakan kecurangan terstruktur sistematis dan masif (TSM). Adapun, pihak yang bisa melakukan kecurangan TSM itu adalah penguasa.
Mantan anggota DPR ini pun menyinggung sejumlah pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait pelaksanaan Pemilu 2024 (Pileg dan Pilpres), di antaranya Jokowi akan cawe-cawe dan presiden boleh berkampanye.
Selain pernyataan, dia juga mengungkit aksi Jokowi yang membagi-bagikan bantuan sosial (bansos) secara langsung, kemasan bansos berwarna biru yang identik dengan salah satu paslon, dan aparat memaksa kepala desa untuk mendukung paslon tertentu pada Pilpres 2024.
Mantan wartawan dan komisaris Pelindo II ini menyebut, bukan hanya kecurangan yang bersifat TSM yang terjadi pada Pemilu 2024, juga terjadi politisasi, komersialisasi dan kriminalisasi.
“Politisasi, komersialisasi dan kriminalisasi tergelar kasat mata dan orang-orang hanya bicara cara melakukan kecurangan TSM, padahal ini bukan hanya bicara cara.
Mereka melakukan ini dalam rangka mencari pekerjaan atau memburu kekuasaaan dengan model politisasi, komersialisasi dan kriminalisasi,” tegasnya dikutip dari podcast Abraham Samad Speak Up, sebagaimana keterangan pers diterima Tribunnews, Rabu (13/3/2024).
HAM dan Gelar Jenderal Kehormatan
Lebih lanjut, mantan Staf Khusus Jaksa Agung ini menyebut mekanisme checks and balances dalam sistem pemerintahan presidensial hanyalah isapan jempol.
Padahal, mekanisme checks and balances merupakan salah satu tuntutan reformasi untuk menghindari pemusatan kekuasaan pada satu lembaga.
Baca juga: Tanggapi Kaesang Masuk Bursa Cawalkot Solo 2024, Gibran: Yang Menentukan Warga, Bukan Kakaknya
Ichsanuddin kemudian menyorot pemberian gelar jenderal kehormatan dari Presiden Jokowi kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang juga Calon Presiden (Capres) pada Pilpres 2024 dan berpasangan dengan Calon Wakil Presiden (Cawapres) Gibran Rakabuming Raka.
Dijelaskan bahwa Keppres 17/2002 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi yang Berat Masa Lalu menyebut bahwa tragedi Semanggi 1 dan 2 sebagai pelanggaran HAM berat, dan pelakunya diduga Prabowo Subianto, namun kini malah diberi penghargaan jenderal kehormatan.
“Coba Anda pikir, ini tidak hanya menunjukkan menganulir keputusan Dewan Kehormatan Perwira dan Keppres Nomor 62 Tahun 1998 yang ditetapkan BJ Habibie yang memberhentikan Prabowo Subianto. Ini menunjukkan ada kebijakan yang bertentangan satu sama lain dan DPR tidak bisa berbuat apa karena DPR terkoptasi dan disandera,” paparnya.
Dugaan Jual-Beli Suara
Pada kesempatan itu, doktor alumnus Universitas Airlangga (Unair) ini menuturkan bahwa Pemilu 2024 bukan hanya brutal, karena terjadi dugaan jual beli-suara antara calon anggota legislatif (Caleg) di tingkat pemilik suara.
Tidak hanya itu, katanya, penyelenggara pemilu pun menawarkan jual-beli suara dengan harga tertentu. Di samping itu, muncul masalah perhitungan perolehan suara pada Sirekap Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak sesuai dengan data pada C1.
Baca juga: Anies: Bila Tidak Menang Pilpres 2024, maka di Luar Pemerintahan
Menurut Ichsanuddin, model kecurangan pada Pemilu 2024 sama dengan Pemilu 2004, Pemilu 2009, Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 yakni daftar pemilih tetap (DPT) fiktif.
“Persoalan kecurangan sekarang cuma DPT fiktif yang merupakan sumber suara, sumber daya dikerjai dulu apakah di-mark up atau diciutkan, kemudian masuk ke proses cara menghitung. Pemilu 2004, 2009, 2014, 2019 basis problem sama dari pemilu ke pemilu, pelaku berbeda, tetapi poinnya siapa yang lagi berkuasa mempertahankan diri,” katanya.
“Kenapa perserta pemilu tidak mempermasalahkan DPT fiktif dan langsung ikut pemilu? Pemilu 2024 membuat luka rasa keadilan masyarakat menganga, sistem pemilu ini menambah masalah,” pungkasnya. (Tribunnews/Yls)