Soroti Hukuman Pelanggaran Pemilu, Guru Besar Hukum Pidana: Yang Sekarang Tak Buat Jera
Sebagai pakar hukum, Prof Romli melihat ketentuan pelanggaran Pemilu dalam UU Pemilu seolah menyeramkan hukumannya, namun justru setara pidana ringan.
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Hukum Pidana, Prof Romli Atmasasmita, menyoroti Undang-Undang nomor tahun 2017 tentang Pemilu yang dianggap isinya telah menyederhanakan pelanggaran Pemilu.
Harusnya ketentuan tersebut dipertegas lagi hukumannya, menjadi kejahatan pemilu lantaran telah merugikan orang banyak.
Baca juga: Pendaftaran Permohonan Sengketa Pemilu 2024 di MK Turun 15 Persen Dibanding Tahun 2019
Awalnya Romli mengatakan, dirinya terpaksa membaca kembali lebih jeli tentang UU Pemilu, terutama yang menyangkut soal pelanggaran Pemilu. Hal itu dilakukan mengingat sengketa Pilpres sedang disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal itu disampaikan Prof Romli dalam acara diskusi bertajuk "Arah Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Sengketa Pemilu Presiden 2024" di Jalan Cemara 19, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (1/4/2024).
"Kesimpulan saya melihat undang-undang itu adalah tampaknya undang-undang itu menyederhanakan pelanggaran Pemilu sama dengan penipuan pemalsuan surat, dan berita bohong dan sebagainya yang kita kenal sehari hari dalam undang-undang hukum pidana," kata Prof Romli.
Baca juga: KPPW PAN Tanggapi Hasil Sidang Pelanggaran Administrasi Pemilu di Bawaslu Kabupaten Tangerang
Sebagai pakar hukum, Prof Romli melihat ketentuan pelanggaran Pemilu dalam UU Pemilu seolah menyeramkan hukumannya, namun justru setara pidana ringan.
"Coba bayangkan ada hukuman 6 bulan kurungan, coba bayangkan tiap rampok mencederakan ratusan jiwa suara, sebenarnya pemalsuan perusakan, ini suara yang dikorupsi," tuturnya.
"Ini kalau kita bicara tindak pidana korupsi extraordinary crime, ini extra extra ordinary crime. Maka karena seperti itu lah kecurangannya terstruktur sistematis masif itu, kalau bahasa hukum pidana itu pemufakatan jahat sebetulnya," sambungnya.
Ia kemudian curiga, ketentuan soal pelanggaran Pemilu hukumannya sudah dipikirkan akan ringan sejak akan dibuat regulasinya. Pasalnya, kata dia, hukuman dalam ketentuan itu sekarang dianggap tak membuat jera.
"Saudara tahu nggak satu tahun dalam penjara? Prakteknya cuman 6 bulan paling lama. Paling lama 6 bulan di penjara itu bukan sesuatu yang membuat kita jadi jera, kapok; tidak. Hanya sementara waktu pindah rumah. Pindah tempat tidur sebetulnya," katanya.
Untuk itu, ia menilai hal itu sangat memprihatinkan. Menurutnya, frasa pelanggaran tak cocok untuk pemilu, seharusnya diubah menjadi kejahatan.
"Harusnya kejahatan pemilu kalau hukum pidana bukan pelanggaran. Di KUHP kata pelanggaran saja sudah di hapus copyan terbaru hanya kejahatan. Hanya tindak pidana, tidak ada lagi. Jadi istilah lalai, kelalaian itu sudah tak ada apalagi lalai kemudian memalsukan suara lalai mengintimidasi mana ada lalai," tuturnya.
Baca juga: Pemilu 2024 Terasa Istimewa Buat Golkar, Airlangga: Menang Pilpres dan Dapat 102 Kursi di DPR RI
Ia pun menyarankan, usai sengketa Pemilu semuanya selesai, DPR dan Pemerintah sebaiknya merevisi kententuan soal pelanggaran pemilu dalam UU Pemilu.
"Segara setelah Pemilu selesai evaluasi lagi undang-undang Pemilu. Kalau saya usulkan kalau tidak sanggup membuat norma yang jelas tegas juga diterent hapus ketentuan pidana, taruh saja di ketentuan pidana umum lebih besar 4 tahun dia penjara," kata dia.
"Maksimal juga satu tahun ada pidana juga sampe 12 juta jadi lebih besar kejahat-kejahatan biasa dibandingkan korupsi suara rakyat yang ratusan juta korbannya. Korban materiil coba bayangkan ada yang gila peristiwanya," imbuhnya.