Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Tudingan Politisasi Bansos Pengaruhi Suara Prabowo-Gibran, Pakar HTN Sebut Asumtif dan Propaganda

tudingan penyalahgunaan bantuan sosial (bansos) yang didalilkan tim pasangan calon (paslon) nomor urut 1 dan 3 dinilai bersifat asumtif.

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Wahyu Aji
zoom-in Tudingan Politisasi Bansos Pengaruhi Suara Prabowo-Gibran, Pakar HTN Sebut Asumtif dan Propaganda
Ist
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Fahri Bachmid. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

TRIBUNNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Fahri Bachmid mengatakan, tudingan penyalahgunaan bantuan sosial (bansos) yang didalilkan tim pasangan calon (paslon) nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan paslon nomor 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD menguntungkan suara Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Pilpres 2024 bersifat asumtif.

Menurut dia, dalil dari kubu Anies dan Ganjar itu, hanya sebuah narasi propaganda untuk mendelegitimasi keterpilihan Prabowo-Gibran.

"Dalil-dalil pemohon hanya bersifat asumtif dan propaganda guna mendelegitimasi pihak terkait (paslon 02) dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2024," kata Fahri saat dihubungi Senin (1/4/2024).

Fahri menjelaskan, para pemohon tidak dapat membuktikan secara konkrit kausalitas antara lokasi dan wilayah pemberian bansos oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) beserta jajarannya, dengan naiknya suara Prabowo-Gibran.

"Seperti apa perbuatannya, kapan, dan di mana, siapa, bagaimana kaitannya dengan perolehan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon presiden dan wapres?" tanya Fahri.

Karena itu, Fahri menganggap, dalil permohonan tim Ganjar-Mahfud mengenai pilihan Presiden Jokowi di pilpres hanya spekulatif. Dia menegaskan bahwa Jokowi netral dalam Pemilu 2024 ini.

Berita Rekomendasi

"Dalil pemohon mengenai adanya penjangkaran di masyarakat bahwa pihak terkait adalah pasangan dipilih Presiden Jokowi menurut hemat pihak terkait adalah dalil yang spekulatif dan menyesatkan," ujarnya.

Lanjut Fahri mengatakan tuduhan yang didalilkan seperti lumpuhnya independensi penyelenggara pemilu karena intervensi kekuasaan, nepotisme pasangan calon nomor urut 2 menggunakan lembaga kepresidenan, pengangkatan pejabat kepala daerah yang masif dan digunakan untuk mengarahkan pilihan dan sebagainya bukan menjadi ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebab kata Fahri, kewenangan MK adalah terkait perselisihan hasil pemilu telah diatur secara tersendiri dalam Bab III Perselisihan Hasil Pemilu, Pasal 473 Ayat (3) UU Pemilu.

“Perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu presiden dan wakil presiden secara nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi penetapan hasil pemilu presiden dan wakil presiden,” ujarnya.

Lebih lanjut Fahri menerangkan ketentuan Pasal 475 Ayat (1) dan (2) UU Pemilu menyatakan MK hanya mengadili terhadap penghitungan suara.

"Frasa 'hanya terhadap hasil penghitungan suara' bermakna pembatasan dan bersifat tetap. Tidak ada peluang untuk memperluas kewenangan Mahkamah Konstitusi, termasuk selain dari penghitungan suara,” katanya.

Dikatakan Fahri, maka selain penghitungan suara adalah bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Baca juga: Pemanggilan 4 Menteri di Sidang MK Dipertanyakan, Pemilu Dinilai Tak Ada Hubungannya dengan Bansos

“Menjadi jelas bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya terhadap hasil penghitungan suara dengan pendekatan kuantitatif. Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili pelanggaran administratif secara terstruktur, sistematis, dan masif yang notabene pendekatannya adalah kualitatif. Sesuai dengan sifatnya, pendekatan kualitatif dan kuantitatif adalah dua hal yang berbeda,” pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas