Keteguhan 2 Hakim MK Dissenting Opinion sejak Putusan Usia Cawapres hingga Sengketa Pilpres 2024
Dua Hakim MK, Saldi Isra dan Arief Hidayat, sudah menyatakan dissenting opinion sejak putusan usia cawapres sampai hasil sengketa Pilpres 2024.
Penulis: Pravitri Retno Widyastuti
Editor: Wahyu Gilang Putranto
Tak hanya itu, Saldi juga memberikan komentar soal penyaluran bansos seiring dengan kunjungan kerja Presiden.
"Berdasarkan pertimbangan hukum dan fakta tersebut, pembagian bansos atau nama lainnya untuk kepentingan elektoral menjadi tidak mungkin untuk dinafikan sama sekali."
"Oleh karena itu, saya mengemban kewajiban moral (moral obligation) untuk mengingatkan guna mengantisipasi dan mencegah terjadinya pengulangan atas keadaan serupa dalam setiap kontestasi pemilu," tutur Saldi, Senin.
"Dengan menyatakan dalil a quo terbukti, maka akan menjadi pesan jelas dan efek kejut (deterrent effect) kepada semua calon kontestan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah bulan November 2024 yang akan datang untuk tidak melakukan hal serupa."
"Dengan demikian, saya berkeyakinan bahwa dalil Pemohon terkait dengan politisasi bansos beralasan menurut hukum," imbuhnya.
Lebih lanjut, Saldi meyakini ada ketidaknetralan dari sebagian Pj kepala daerah, termasuk perngkat daerah, selama pemilu kemarin.
Ia menilai, ketidaknetralan abdi negara membuat pemilu yang diselenggarakan tidak berintegritas.
Baca juga: Anies Tinggalkan Gedung MK usai Kekalahan, Eks Gubernur DKI Beri Pernyataan di Markas AMIN Sore Ini
"Semua ini bermuara pada terselenggaranya pemilu yang tidak beritegritas," jelas Saldi Isra.
Terkait alasan yang disampaikan kubu Anies-Muhaimin mengenai bansos dan netralitas pejabat, Saldi menganggapnya beralasan menurut hukum.
Saldi pun berpendapat MK seharusnya memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di beberapa daerah.
"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, dalil pemohon sepanjang berkenaan dengan politisasi bansos dan mobilisasi aparat atau aparatur negara atau penyelenggara negara adalah beralasan menurut hukum."
"Oleh karena itu, demi menjaga integritas penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil, maka seharusnya Mahkamah (Konstitusi) memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah sebagaimana disebut dalam pertimbangan hukum di atas," urainya.
Saldi juga sempat menyinggung pemilu di era Orde Baru yang menurutnya memang berjalan sesuai aturan, tapi tetap curang.
Secara empirik, jelasnya, pemilu di era Orde Baru tidak adil lantaran ada faktor keberpihakan pemerintah pada salah satu calon.