Ketua MA dan Istana Pilih Bungkam soal Putusan Batas Usia Calon Kepala Daerah
Ketua Mahkamah Agung (MA) dan Istana memilih tak komentar soal putusan hakim yang mengubah syarat usia calon kepala daerah.
Penulis: Milani Resti Dilanggi
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Ketua Mahkamah Agung (MA), Muhammad Syarifuddin memilih bungkam soal putusan hakim yang mengubah syarat usia calon kepala daerah.
Syarifudding mengaku tak bisa mengomentari perihal putusan yang saat ini menuai kritikan itu.
Adapun melalui putusan tersebut, MA mengubah ketentuan dari yang semula calon gubernur dan wakil gubernur minimal berusia 30 tahun terhitung sejak penetapan pasangan calon menjadi setelah pelantikan calon.
Dengan kata lain, calon kepala daerah masih bisa mendaftar pilkada di bawah batas syarat usia, asalkan pada masa pelantikan sudah memenuhi syarat minimum usia 30 tahun.
"Kita tidak boleh berkomentar terhadap putusan kita (sendiri)," kata Syarifuddin di Padang, Sumatera Barat, Jumat (31/5/2024).
Syarifuddin menegaskan bahwa dirinya tak boleh berkomentar soal putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 yang dinilai sejumlah pihak sebagai karpet merah putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep di Pilkada 2024 ini.
"(Soal) putusan 23 itu, kita tak boleh komentar-komentar soal itu," tegasnya.
Di sisi lain sebagai lembaga eksekutif, pemerintah melalui Kementerian Sekretariat Negara juga enggan berkomentar perihal putusan MA.
"Mohon maaf saya tidak mengikuti isu itu tapi tentu saja kalau keputusan lembaga yudikatif pemerintah tidak lah berkomentar mengenai itu," kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Kamis (30/5/2024).
Putusan MA ini menuai sejumlah kritikan dari berbagai kalangan, satu di antaranya dari PDI Perjuangan (PDIP).
Politikus PDIP Masinton Pasaribu, mengklaim putusan MA ini kental berbau politik.
Menurutnya, putusan MA ini dianggap meloloskan Kaesang Pangarep untuk berlenggang ke Pilkada 2024.
Baca juga: Soal Putusan MA, Pengamat Hukum UGM: Mestinya Pengadilan Menghindari Diri Terlibat Politik Elektoral
"Ya publik semua membacanya seperti itu (untuk Kaesang). Bahwa putusan MA ini bukan lagi putusan yang agung dalam konteks hukum, tapi ini sudah putusan yang berbau politik jika dikaitkan dengan hasrat pencalonan orang tertentu," kata Masinton kepada Tribunnews.com, Kamis (30/5/2024).
Masinton menilai, putusan ini sama parahnya dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 merupakan putusan terkait persyaratan usia minimal bagi calon presiden dan/atau wakil presiden.
Putusan tersebut juga dinilai sebagai pembuka pintu bagi putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka di Pilpres 2024 kemarin.
"Ini lebih parah lagi, ya sama parahnya, sama rusaknya. Maka kalau kita lihat perbincangan di sosial media itu kan jadi MK itu milik kakak, MA milik adik," ujarnya.
Dia berpendapat bahwa putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 merusak hukum.
"Jadi PKPU itu adalah turunan dari UU Nomor 10 tahun 2016. Kan itu mengatur teknisnya dan itu tidak bertabrakan dengan UU. PKPU itu tidak membuat norma baru, dia cuman mengatur secara teknis tentang syarat pencalonan itu ya sejak dia mendaftar kan ditetapkan sebagai calon," jelas Masinton.
(Tribunnews.com/Milani Resti/Fersianus Waku)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.