Pakar Usulkan Kearifan Lokal dan Kebudayaan Masuk Materi Debat Calon Kepala Daerah di Pilkada 2024
Hilman Farid mengingatkan bahwa saat ini, Indonesia mewarisi sistim administrasi kolonial yang tumpang-tindih dengan pemekaran.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar yang juga Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilman Farid mengingatkan bahwa saat ini, Indonesia mewarisi sistim administrasi kolonial yang tumpang-tindih dengan pemekaran.
Dimana, konsep wilayah administratif ini kadang tidak sejalan dengan kultural. Dasar pembagian daerah administratif itu tidak selalu sejalan kultural.
Papua, misalnya, dasar pembagian administrasinya dari zaman Belanda dan dasarnya itu ekspresi seni. Ini yang membuat ikatan sosial di daerah itu lemah karena ikatan kulturalnya lemah.
Hal itu disampaikan Hilman saat diskusi kelompok terarah (FGD) yang diselenggarakan oleh Agenda 45, di Kawasan Tebet, Jakarta Selatan.
Dalam hajatan bertopik 'Memperkuat Otonomi Daerah Melalui Pilkada' itu, mantan Menkopohukam Mahfud MD tampil menjadi keynote speaker.
“Jadi, memperkuat Otoda itu apa? memperkuat sistem jangan seperti tadi, memperkuat yang urusan privat. Ini problem yang fundamental yang harus dibahas. Misalnya soal masyarakat adat yang kerap berkonflik dengan pembagian daerah secara administrative,” ujar Hilman.
Hilman menamnahkan, bahwa ketika diterjemahkan menjadi pembangunan, ini menjadi tidak menarik. Dimana, mis-opportunity hilang karena kondisi hari ini. Contoh Kaimana, ada seperenam hutan mangrove Indonesia di sana.
Padahal, kalau dikelola dilestari, sesuai kearifan lokal, valuenya bisa puluhan ribu USD.
Sehingga, ada hubungan antara sumber daya dengan pembangunan. Namun, kepala daerah belum menyadari keterhubungan itu.
Masalahnya, isu-isu ini tidak pernah masuk dalam konteks Pilkada. Makanya, lanjut dia, sudah seharusnya mencoba mendorong ada debat soal kebudayaan di Pilkada. sehingga hal-hal tadi bisa menjadi pembicaraan publik.
“Kita nggak bisa berharap dari proses politik formal, tetapi proses dari bawah. Perspektif yang digunakan Agenda 45 ini kan masyarakat sipil. Nah, perspektif masyarakat sipil ini yang akan mengubah keadaan,” ujar Hilman.
Menanggapi pemikiran itu, Prof. Riset pada Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ibnu Maryanto mengatakan bahwa nampak ada hubungan linguistik dan biodiversitas.
Contoh di Jawa, ada semacam garis imajiner linguistik dengan biodiversitas. Ada beberapa jenis burung hanya di daerah tertentu. Bahasa tiap daerah berbeda-beda.