Partai Buruh dan Gelora Gugat ke MK Aturan Batasan Partai Non-Seat DPRD Usung Paslon di Pilkada
Meski demikian, ia menjelaskan, Partai Buruh selaku Pemohon I pernah menjadi peserta Pemilu 2009, dan sekalipun tidak memperoleh kursi di sejumlah
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Acos Abdul Qodir
Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Buruh dan Partai Gelora menggugat aturan terkait batasan partai politik tanpa kursi di DPRD dalam pengusungan pasangan calon (paslon) di Pilkada.
Ketentuan tersebut diatur pada Pasal 40 Ayat (3) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada).
Pasal tersebut berbunyi, "Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25 persen (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah."
Dalam persidangan, Ketua tim hukum Partai Buruh dan Partai Gelora, Said Salahuddin, mengaku pihaknya dirugikan secara konstitusional atas keberlakuan pasal a quo.
Meski demikian, ia menjelaskan, Partai Buruh selaku Pemohon I pernah menjadi peserta Pemilu 2009, dan sekalipun tidak memperoleh kursi di sejumlah daerah, tetapi Partai Buruh tetap dapat ikut menjadi pengusung pasangan calon di berbagai daerah dengan cara berkoalisi dengan partai lain, pada pelaksanaan Pilkada 2010, 2011, 2012, dan 2013, berdasarkan Putusan MK Nomor 5/2005 dan Putusan MK No 5/2007.
Dalam permohonan provisi, Said memohon kepada majelis hakim agar dapat mempercepat pembacaan putusan terhadap gugatan yang diajukam pihaknya. Terlebih, menurutnya, perkara yang dimohonkannya ini sangat berbeda dengan perkara uji materiil UU Pilkada lainnya.
Ia menjelaskan, pada perkara lain yang menggugat UU Pilkada ke MK lebih berkaitan dengan persyaratan administrasi individu bakal calon, sedangkan perkara yang diajukan pihaknya lebih kompleks karena terkait dengan proses komunikasi serta kerja sama politik antar partai politik yang perlu membangun kesepakatan koalisi dalam rangka pendaftaran calon ke KPU, yang membutuhkan waktu cukup panjang disebabkan mekanisme yang berbeda di setiap partai.
"Apabila putusan Mahkamah dijatuhkan mendekati waktu pendaftaran, maka kerja sama politik atau koalisi yang dibangun dikhawatirkan akan dilakukan secara terburu-buru, sehingga berpotensi menghasilkan pemimpin eksekutif yang tidak berkualitas dan kurang berpihak pada kepentingan rakyat di daerah," ucap Said, dalam sidang lanjutan Perkara Nomor 60/PUU-XXI/2024 itu, di Gedung MK, Jakarta, Rabu (24/7/2024).
Baca juga: Imbas Kasus Hasyim, KPU Pertimbangkan Bentuk Satgas atau Buat Aturan Baru
Selain itu, katanya, apabila putusan Mahkamah dijatuhkan menjelang pendaftaran dikhawatirkan akan muncul persoalan di level aturan teknis. Sebab, KPU perlu terlebih dahulu melakukan harmonisasi Peraturan KPU dengan Kemenkumham serta konsultasi dengan DPR, yang menurut Said, sudah barang tentu akan memakan waktu.
"Untuk mempertegas provisi ini, maka di dalam persidangan ini kami sampaikan untuk mempercepat proses persidangan. Pemohon menyampaikan untuk tidak perlu digelar sidang untuk mendengar keterangan saksi/ahli, karena pemohon memandang Mahkamah sudah cukup memahami persoalan dan apa yang kami uraikan" jelasnya.
Selanjutnya, Said mengatakan, kebijakan open legal policy bisa saja diterapkan oleh DPR pada UU Pilkada berkaitan dengan besaran persentase dukungan parpol atau gabungan parpol dalam pendaftaran pasangan calon.
"Tetapi, pokok permohonan Pemohon tidak terkait dengan hal tersebut. Melainkan terkait dengan hak parpol peserta pemilu untuk ikut mendaftarkan pasangan calon," ucap Said.
Lebih lanjut, ia menilai, persyaratan pendaftaran pasangan calon yang diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol lebih berat daripada persyaratan pendaftaran pasangan calon dari jalur perseorangan.
"Paslon yang diusulkan parpol, berbasis pada perolehan suara sah. Sedangkan, paslon perseorangan berbasis pada dukungan KTP pemilih," ungkapnya.
Baca juga: Pengangkatan Orang Dekat Prabowo Jadi Wakil Menteri Jokowi, Kompromi Politik atau Hidupkan Dinasti?
Oleh karena itu, dalam petitumnya, Partai Buruh dan Partai Gelora meminta MK, menyatakan Pasal 40 Ayat 3 UU Nomor 10 Tahun 2016 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, "dalam hal partai politik atau gabungan partai politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat 1, jika hasil bagi jumlah akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum Anggota Dewan Perwakailan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan menghasilkan angka pecahan, maka dihitung dengan pembulatan ke atas".
Sebagai informasi, sidang agenda perbaikan permohonan ini dipimpin oleh hakim konstitusi Enny Nurbaningsih, serta dua anggota, yakni hakim Daniel Yusmic P Foekh dan M Guntur Hamzah.