Praktisi Hukum Henry Indraguna Dukung Putusan MK Terkait Pilkada, Ini Alasan Logisnya
Menurut Henry, DPR seharusnya tidak menafsirkan apa yang sudah cukup jelas diatur oleh putusan MK.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Acos Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM - Praktisi Hukum Prof Henry Indraguna mendukung revisi Undang-Undang (UU) Pilkada yang dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan MK itu harus ditaati dan dilaksanakan oleh pembuat Undang-U9ndang baik legislatif maupun eksekutif, Jumat (23/8/2024).
Terkait putusan MK tentang Pilkada yang coba direvisi DPR lewat Baleg, berpotensi menimbulkan masalah baru dan bisa jadi kembali digugat melalui uji materi ke MK.
Diketahui pada Rabu 21 Agustus 2024, DPR sidang membahas Putusan MK di Badan Legislatif (Baleg), dan akan mengesahkan UU revisi hasil Putusan MK.
Namun, saat Rapat Paripurna DPR akan memutuskan untuk mengesahkan UU hasil revisi putusan MK pada Kamis 22 Agustus 2024, rancangan UU hasil revisi Baleg tidak jadi disahkan karena tidak memenuhi kuorum.
Menurut Henry, DPR seharusnya tidak menafsirkan apa yang sudah cukup jelas diatur oleh putusan MK.
"Saya menyarankan regulasi pilkada yang diatur di dalam UU Pilkada hanya perlu dibenahi dan disesuaikan dengan Putusan MK, bukan dibuat berbeda dengan Putusan MK tersebut," ujar Prof Henry Indraguna.
Baca juga: Zulhas Seloroh Peringatkan Semua Pihak Hati-hati dengan Sosok Bahlil: Semua Diolah
Lanjut Henry, sebab dari putusan MK tersebut telah dapat memastikan tersedianya calon yang beragam. Kalau calonnya beragam, maka pilihan juga beragam.
"Dalam putusannya, MK memutuskan ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik/gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD," katanya.
"MK memutuskan, threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan threshold pencalonan kepala daerah jalur independen/perseorangan/nonpartai sebagaimana diatur pada Pasal 41 dan 42 UU Pilkada," tambahnya.
Selain itu, MK juga memastikan partai non-seat alias tidak memiliki kursi di DPRD dapat mengusung pasangan calon gubernur dan wakil gubenur.
Rapat panitia kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU berlangsung dinamis.
Baca juga: Partai Buruh Akan Demo KPU dan KPUD 3 Hari Desak Segera Terbitkan PKPU Pilkada Merujuk Putusan MK
Salah satu substansi yang memicu perdebatan adalah pertentangan soal aturan batas usia pencalonan kepala daerah.
Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU mengatur batas usia paling rendah 30 tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, serta 25 tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.