Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Korupsi Dipicu Lemahnya Tata Kelola dan Tidak Efektifnya Sistem Pengawasan

Tingginya uang mahar dan biaya untuk mengikuti pilkada, membuat politisi itu bekerja sama dengan pengusaha yang berharap akan mendapat konsesi

Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Acos Abdul Qodir
zoom-in Korupsi Dipicu Lemahnya Tata Kelola dan Tidak Efektifnya Sistem Pengawasan
net
ilustrasi korupsi 2609 

Laporan Wartawan Tribunnews.com Eko Sutriyanto

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di negara yang memiliki sumber daya ekonomi berlimpah seperti Indonesia, kepala pemerintahan baik pusat maupun daerah jadi daya magnet yang sangat kuat untuk diperebutkan.

Para politisi ambisius berani melakukan tindakan spekulatif, dengan menawarkan biaya mahar tinggi kepada partai agar dirinya dapat diusung memasuki ajang pemilihan umum (Pemilu), termasuk pemilihan kepala daerah (pilkada).

Tingginya uang mahar dan biaya untuk mengikuti pilkada, membuat politisi itu bekerja sama dengan pengusaha yang berharap akan mendapat konsesi eksploitasi sumber daya alam, jika calon yang disponsorinya berhasil memenangkan pemilu.

"Saat politisi ambisius memenangkan pemilu maka tiba saatnya mengembalikan biaya sponsorship kepada para pengusaha tadi,”  kata Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo, dalam FGD Tata Nilai bertema Urgensi Berantas Korupsi: Problematika dan Solusi secara daring belum lama ini.

Pontjo mengatakan, diberlakukannya Undang-undang NRI 1945 tahun 2002, dimana sistem politik menganut multi partai dan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat ternyata memicu tumbuh suburnya budaya korupsi di Indonesia.

Korupsi terjadi tidak hanya karena motivasi seseorang yang pada dasarnya memiliki corrupted mindset, namun bisa terjadi karena adanya kesempatan atau kelemahan sistem tata kelola yang berakibat tidak efektifnya sistem pengawasan yang seharusnya berlaku.

BERITA TERKAIT

"Korupsi yang dilakukan tidak sekadar menumpuk kekayaan, tapi juga sudah berubah menjadi korupsi kekuasaan yang membentuk budaya baru yang oleh Dahlan Iskan disebut sebagai Budaya Post-Truth," katanya.

Baca juga: Ketua KPU: PKPU Pilkada 2024 yang Memuat Putusan MK Secepatnya Diundangkan

Celakanya, hukum sudah tidak mampu memecahkan persoalan dan mengatasi problem korupsi di Indonesia.

“Mungkin kita harus mengembangkan Post Parliamentary Demokrasi melalui media sosial, atau apa yang saya sebut sebagai Digital Democracy yang mengandalkan jargon No Viral No Justice yang dewasa ini merupakan sarana ekspresi kedaulatan rakyat,” kata Pontjo.

Untuk inilah perlu peningkataan kesadaran kolektif masyarakat Indonesia untuk bersama-sama menjaga jati diri budaya bagsa dan membangun kemandirian ekonomi bangsa Indonesia, dengan cara bergotong royong memberantas korupsi.

Ekonom, Prasetijono Widjojo maraknya korupsi karena rendahnya komitmen berlaku jujur, berintegritas dan bertanggungjawab para oknum penyelenggara negara.

“Seorang mantan koruptor bisa menjadi legislator atau pimpinan BUMN jelas bentuk penghancuran budaya tata nilai, tata kelola dan tata sejahtera kehidupan mulia dan bermartabat bangsa,” katanya.

Sekjen Transparansi Internasional Indonesia (TII), J Danang Widoyoko mengatakan, pencegahan korupsi tidak hanya fokus pada penegakan hukum karena integritas penegak hukum yang bermasalah justru membuat penegakan hukum bisa disalahgunakan.

“Pencegahan adalah aspek penting, tetapi kurang menjadi perhatian," katanya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas