ICJR: Konsep HPP dalam Rancangan Revisi KUHAP Belum Jawab Problem
nstitute for Criminal Justice Reform (ICJR) Jakarta, Kamis (2/5/2013) menilai Hakim Pemeriksa Pendahuluan
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Jakarta, Kamis (2/5/2013) menilai Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP), istilah yang diperkenalkan Rancangan KUHAP tahun 2012 untuk menggantikan praperadilan belum mampu memberikan jawaban yang mendasar atas keadaan yang selama ini terjadi.
Menurut ICJR salah satu penyebabnya karena konsep HPP yang diusung dalam Rancangan KUHAP 2012 itu pada dasrnya tidak berbeda dengan lembaga praperadilan yang hingga kini masih berjalan.
Demikian antara lain kesimpulan ICJR dalam menyikapi materi HPP dalam Rancangan KUHAP. Kesimpulan disampaikan seusai acara Media Briefing: Menyikapi Ketentuan Rancangan KUHAP tentang HPP di The Akmani Hotel, Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta, Kamis.
Lembaga kajian yang bergerak dalam bidang pengembangan proses reformasi hukum acara pidana dan hukum pidana di Indonesia ini menekankan masih adanya beberapa hal penting yang harus diperhatikan agar problem yang telah terjadi selama ini di bawah konsep praperadilan tidak lagi terulang di masa mendatang.
"Salah satu masalah yang penting adalah pemberian wewenang penuh kepada penyidik untuk penetapan tersangka. Pemberian wewenang mutlak dalam hal penetapan tersangka tanpa ada peninjauan dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan justru akan mengulangi masalah yang terjadi saat ini dalam lembaga Praperadilan," kata Ketua Badan Pengurus IJCR, Anggara Suwahyu, mewakili IJCR.
Menurut ICJR konsep HPP tersebut masih sama seperti praperadilan yang memberikan kewenangan absolut kepada penyidik untuk menentukan keterpenuhan bukti permulaan yang cukup untuk menentapkan seseorang menjadi tersangka, dan bukti yang cukup untuk melakukan penahanan.
"Absolutnya kewenangan ini pada akhirnya menyebabkan kewenangan penyidik tidak dapat dikontrol, termasuk dalam menentukan pengenaan penahanan terhadap seseorang," ujarnya lebih lanjut.
ICJR memandang, setiap upaya tahapan proses dalam sistem peradilan pidana harus melalui peninjauan oleh pengadilan (judicial scrutiny) termasuk terhadap upaya paksa yang dilakukan penyidik.
"Dengan kata lain, walaupun dimungkinkan menetapkan orang sebagai tersangka, tapi post factumnya harus tunduk pada pengujian judicial dan bukan mendasarkan pada diskresi," tuturnya.
ICJR menyesalkan praperadilan sebagai mekanisme komplain hingga saat ini tidak berjalan efektif. Padahal, semangat melalui praperadilan pada saat pembentukan KUHAP sangat erat kaitannya dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia, sesuatu yang tidak terwujud ketika HIR berlaku.
"ICJR melihat ada problem krusial dalam design sistem peradilan pidana di Indonesia terutama pada tahap pra-ajudikasi, yang pada akhirnya berdampak pada tidak efektifnya praperadilan sebagai mekanisme komplain," ujarnya. (wip)