Orangtua Korban di JIS Trauma, Merasa Diteror, dan Dibuntuti
Orangtua siswa JIS yang menjadi korban dugaan tindak kekerasan seksual mempertanyakan sejumlah kejanggalan yang terjadi pada tragedi yang menimpa anak
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Orangtua siswa Jakarta International School (JIS) yang menjadi korban dugaan tindak kekerasan seksual mempertanyakan sejumlah kejanggalan yang terjadi pada tragedi yang menimpa anaknya.
TPW alias Pipit, ibu dari seorang anak yang disodomi menyebut meski sekolah tersebut dilengkapi banyak Close Circuit Television (CCTV) namun tindak kekerasan seksual terhadap siswa tetap saja terjadi secara berantai. Selain itu, fakta JIS belum mengantongi izin juga membuatnya heran.
"Kenapa pihak JIS tidak bertanggung jawab? Kan ada CCTV, kenapa ada pembiaran? Kenapa pemerintah membiarkan ada sekolah yang tak berizin? Ini saya tahu dari bu Dirjen pendidikan Lidya Freyani Hawadi," kata Pipit kepada wartawan di Jakarta, Selasa (13/5/2014).
Soal penyidikan kepolisian atas kasus tersebut, Pipit dan pihak keluarga menyayangkan kasus kejahatan seksual berhenti pada 6 tersangka. Pipit menyiratkan, seharusnya kasus ini bisa dijelaskan ke publik secara gamblang termasuk pelaku mana saja yang menderita herpes.
"Kenapa hanya berhenti pada 6 tersangka? Kenapa polisi tidak memeriksa pihak sekolah dan guru? Pihak aparat seolah tidak peka. Ada apa pada Subnit Renata Polda Metrojaya yang hanya berhenti pada 6 tersangka? Anak saya kini menderita herpes, tersangka mana yang menderita herpes? di mana tanggung jawab sekolah?" ujar Pipit.
Pipit juga mengungkapkan rasa trauma yang diterima. Ia bahkan mengaku terancam dan merasa dibuntuti.
"Saya trauma, dan menerima ancaman dari pihak-pihak tak dikenal, seperti dibuntuti," imbuhnya.
Sebelumnya, pihak JIS melalui kuasa hukum mereka, Harry Pontoh telah membantah adanya dugaan pembiaran dan kelalaian atas kasus tersebut di lingkungan institusi mereka. Pada dasarnya, kata Harry, pihak JIS juga merupakan korban atas aksi biadab para pelaku.
"Klien saya mengatakan tidak akan menyerang balik atas laporan pidana itu. Kami lebih bersikap soft saja. Sebab yakin tuduhan itu tak akan terbukti. Sebab JIS itu sebenarnya adalah korban juga," katanya, Selasa (6/5/2014) silam.
Terkait tudingan pembiaran dan kelalaian, Harry mengungkapkan tidak mungkin dilakukan secara sadar oleh JIS.
"Tidak mungkin kami melakukan pembiaran. Kalau dibilang pembiaran, asumsinya pihak sekolah tahu soal kekerasan seksual itu lalu mendorong supaya itu terus terjadi. Ini tidak mungkin, karena JIS adalah lembaga pendidikan yang sudah lama kompeten dalam bidang ini," paparnya.
JIS, kata Harry, sebenarnya sudah cukup tegas dengan menyerahkan tugas kebersihan sekolah ke pihak yang dianggap profesional dan ahli yakni PT ISS Indonesia, perusahaan outsourcing.
"Namun kami sama sekali tidak menyangka kalau pegawai PT ISS yang kami percayakan itu yang melakukan kekerasan seksual," katanya.
Adapun pihak kepolisian sejatinya sudah memeriksa kepala sekolah dan sejumlah staf pengajar JIS terkait kasus tersebut. Pemeriksaan para guru di JIS ini untuk mendalami dugaan kelalaian dan pembiaran sehingga terjadi kekerasan seksual di sekolah.
Sesuai dengan laporan KPAI dan Komnas Anak yang mempolisikan Kepsek dan pengelola JIS dengan dituntut pelanggaran Pasal 54 dan Pasal 78 UU Perlindungan Anak No 23/2002 dengan ancaman hukuman penjara maksimal 15 tahun dan minimal 3 tahun.
Kepolisian juga menyiratkan kemungkinan bertambahnya jumlah tersangka dalam kasus tersebut. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Rikwanto mengatakan akan ada pemeriksaan secara bertahap terhadap 13 karyawan kebersihan yang menjadi tenaga outsourching.
Pemeriksaan itu merupakan langkah lanjutan atas hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan ke-13 orang tersebut mengidap penyakit herpes. Rikwanto melanjutkan, dalam pemeriksaan tersebut, tidak menutup kemungkinan akan ada tersangka baru di antara mereka.
"Dari 13 orang ini ditanyakan soal interaksi mereka pada murid. Tidak menutup kemungkinan bisa jadi ada tersangka baru. Nanti ditanyakan pula apa dari 13 ini ada yang melakukan kekerasan seksual," tutur Rikwanto, Jumat (9/5/2014) kemarin.
Belum ada konfirmasi dari kepolisian soal kabar adanya ancaman dan teror yang diterima orangtua korban.
Sementara Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Uchok Sky Khadafi atas kasus tersebut menyoroti dugaan tindak pidana perpajakan. Tidak adanya izin yang dikantongi JIS, sebut Uchok, bisa mengarah pada terjadinya hal tersebut.
"Kita minta Dirjen Pajak untuk melakukan pemeriksaan, termasuk payung hukumnya, tolong diperiksa setoran pajaknya itu, apakah mengemplang pajak atau tidak?" tutur Uchok.
Uchok menyebut, dugaan tindak pidana perpajakan di JIS bisa mencapai, Rp1,7 triliun per tahun, secara terang-terangan merugikan negara.
"Uang sekolah saja 23 ribu dolar per tahun per anak. Itu playgroup saja, belum uang pangkal dan lainnya. Ini belum termasuk TK dia saja gak punya izin, apalagi bayar pajak, kejahatan tindak pidana perpajakan. Kami minta Dirjen Pajak menindak lanjuti masalah ini. Kan kalau dihitung mencapai Rp1,7 triliun per tahun. Pelaku tindak pidana korporasi, korporasi juga harus dihukum, pasal 90 ayat 2," kata Uchok.
Belum ada tanggapan dari pihak JIS dan pihak terkait soal izin penyelenggaraan belajar mengajar serta tudingan tindak pidana perpajakan seperti yang dilontarkan Uchok.