Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Memanusiakan Orang-orang Terlantar dan Ujian Kesabaran Bagi Petugas Panti Sosial

Memanusiakan orang-orang terlantar tentu butuh kesabaran. Kadang petugas panti dipukul saat pembinaan.

Editor: Agung Budi Santoso
zoom-in Memanusiakan Orang-orang Terlantar dan Ujian Kesabaran Bagi Petugas Panti Sosial
TRIBUNNEWS.COM/HENDRA GUNAWAN
Para penghuni Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia sedang duduk-duduk di beranda ruangan tempat mereka menghabiskan waktu selama di panti 

TRIBUNNEWS.COM - Meski menderita gangguan kejiwaan, penampilan dan perilaku Dewi (58) tak beda jauh dengan orang biasa. Dia kerap memakai jilbab serta kaus dan celana panjang. Cara bicaranya teratur dan santun. Perkataan orang lain juga bisa dia tanggapi dengan baik.

Sehari-hari Dewi kerap membantu memasak di Panti Karya, panti sosial milik Pemerintah Kota Yogyakarta, tempat tinggalnya sejak 13 tahun lalu. Pekan lalu, sesudah penghuni panti selesai makan bersama, Dewi bergegas menuju dapur, mencuci puluhan piring kotor yang baru dipakai.

”Saya enggak punya keluarga lagi,” ungkap perempuan yang mengaku berasal dari Kampung Wirosaban, Kota Yogyakarta, itu. Sebelum masuk Panti Karya, ia pernah dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito, Yogyakarta. Saat masuk ke panti, Dewi belum bisa menjaga kebersihan diri. Gangguan kejiwaannya masih kerap muncul.

”Dulu Bu Dewi kerap membawa barang lalu diletakkan di tempat sembarangan. Misalnya bawang di dapur tiba-tiba ditaruh di pinggir jalan,” kata Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Panti Karya Waryono.

Kondisi Dewi membaik berkat perawatan dan pelayanan di panti yang manusiawi. Perawat dan petugas panti menghindari cara-cara kekerasan. ”Kami ingin memanusiakan mereka. Saat penghuni atau kelayan psikotik memukul petugas, tindakan itu tak dibalas dengan kekerasan. Kalau kelayan mendapat kekerasan, mereka akan membalas dengan kekerasan juga,” kata Waryono.

Ia menambahkan, penanaman nilai dan pembinaan kelayan yang menderita gangguan kejiwaan dilakukan perlahan-lahan. ”Membiasakan mereka mandi, itu susah, lho. Namun, sekarang banyak yang bisa mandi, makan, tidur, bahkan ngobrol seperti orang normal,” ujarnya.
Orang telantar

Panti Karya didirikan Pemerintah Daerah DI Yogyakarta pada dekade 1980-an. Tahun 2008, pengelolaan panti diserahkan kepada Pemerintah Kota Yogyakarta. Secara kelembagaan, panti itu berada di bawah Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kota Yogyakarta.

BERITA TERKAIT

Saat ini Panti Karya difungsikan untuk menampung dan melayani orang telantar, misalnya gelandangan, pengemis, dan penderita gangguan kejiwaan. Panti juga menjadi tempat penampungan sementara bagi orang telantar yang terjaring razia Pemkot Yogyakarta.

Di panti itu penyandang masalah sosial didata lalu dipilah berdasarkan umur dan masalah yang dihadapi. ”Mereka yang terjaring razia minimal berada di sini selama tiga hari,” ujar Waryono yang menjadi Kepala UPT Panti Karya sejak 2013.

Pada hari ketiga, gelandangan dan pengemis yang diketahui memiliki keluarga akan dipulangkan. Mereka diantar hingga ke rumah, termasuk jika rumahnya di luar Provinsi DI Yogyakarta. Biaya pemulangan ditanggung Pemkot Yogyakarta.

Sementara orang telantar yang tak lagi punya keluarga atau informasi ihwal keluarganya tak diketahui diperlakukan berbeda. Mereka yang masih anak-anak dikirim ke Panti Anak Wiloso Projo yang juga dikelola Pemkot Yogyakarta. Jika sudah lanjut usia, sebagian dipindahkan ke panti jompo.

Dengan sistem semacam itu, jumlah kelayan atau penghuni di panti selalu berubah. Akhir Januari 2015, kelayan Panti Karya berjumlah 84 orang, terdiri dari 59 penderita gangguan jiwa atau psikotik dan 25 orang telantar nonpsikotik. ”Jumlah kelayan yang psikotik lebih banyak karena sebagian besar tak diketahui lagi keluarganya,” ujar Waryono.

Kelayan psikotik di panti terus mendapatkan pembinaan, terutama dalam hal perilaku. Mereka diajarkan cara mandi dan membersihkan diri, cara makan yang sopan, serta dilibatkan dalam berbagai kegiatan. Secara medis, mereka juga mendapatkan pengobatan dan pengawasan dari perawat yang bertugas 24 jam di panti.

Setiap pagi, kelayan, termasuk yang psikotik, diminta bangun pukul 04.30, lalu diarahkan untuk mandi. ”Kalau belum bisa mandiri, ya, dimandikan,” kata Waryono. Sesudah itu, mereka sarapan bersama, lalu mengikuti beragam kegiatan, seperti pengajian, pelatihan keterampilan, dan olahraga.

Halaman
12
Tags:
Sumber: KOMPAS
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Populer

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas