Bawa Kartu Jakarta Sehat, Penderita Kanker Serviks Ini Sempat Ditolak 4 Rumah Sakit
Sekalinya bangkit dari tempat tidurnya, ia hanya bisa duduk karena pergerakannya amat terbatas akibat perutnya yang semakin membesar.
Editor: Rendy Sadikin
Laporan wartawan WARTA KOTA, Junianto Hamonangan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Maesaroh (44) hanya bisa terbaring tak berdaya di rumah kontrakannya di Gang Ayamah No 145, RT 13 RW 02, Batu Ampar, Kramat Jati, Jakarta Timur.
Sekalinya bangkit dari tempat tidurnya, ia hanya bisa duduk karena pergerakannya amat terbatas akibat perutnya yang semakin membesar.
Perutnya tersebut sangat kontras dengan kondisi tubuhnya yang kurus.
Sejak divonis kanker serviks, lingkar perutnya semakin membesar hingga mencapai 120 cm.
Sayangnya Maesaroh tidak mendapatkan pengobatan maksimal karena sudah empat rumah sakit yang didatangi dan semuanya menolak ibu empat orang anak itu.
Salah seorang anak Maesaroh, Novi (24) menjelaskan pengobatan ke beberapa rumah sakit sudah dijalani ibunya sejak pertengahan tahun 2014 silam.
Ketika itu perut Maesaroh sudah mulai membengkak.
Novi menjelaskan tiga tahun lalu sang ibu didiagnosa dari seorang bidan bahwa ada mium di dalam perutnya.
Maesaroh pun hanya dapat menerima diagnosa itu sembari berharap mium yang dideritanya hilang.
"Kalau berobat ke rumah sakit kan membutuhkan biaya besar. Sementara penghasilannya sebagai buruh masak cuma dapat membiayai kebutuhan hidup sehari-hari," katanya, Kamis (23/4).
Namun kenyataan yang diharapkan malah sebaliknya.
Perut Maesaroh dari hari ke hari kian membengkak.
Pada Desember 2014 silam, Novi pun mencoba membawa ibunya berobat ke RS Pasar Rebo dengan menggunakan Kartu Jakarta Sehat (KJS) berdasarkan rujukan puskesmas setempat.
"Pihak rumah sakit menyatakan ibu menderita kanker serviks dan harus diperiksa dengan menggunakan rontgen BNO, alat radiografi dari saluran kencing. Cuma waktu itu pengobatan di RS Pasar Rebo tidak berlanjut karena rontgen BNO di rumah sakit lagi rusak," kata Novi.
Tidak patah arang, akhirnya Maesaroh dirujuk ke RS Budhi Asih.
Sayangnya di RS Budhi Asih, Maesaroh mendapati masalah serupa.
Maesaroh baru bisa menajalani pemeriksaan dengan rontgen BNO jika menyediakan dana Rp1,8 juta.
"Pihak rumah sakit beralasan bahwa rontgen BNO tidak ditanggung KJS. Makanya kami harus membayar Rp1,8 juta," ungkapnya.
RS Budhi Asih pun memberikan rujukan kepada Maesaroh agar diperiksa di RSCM.
Namun lagi-lagi Maesaroh dimintai bayaran untuk pemeriksaan dengan rontgen BNO.
Bahkan, biaya yang harus dkeluarkan lebih besar dari sebelumnya yakni Rp2,8 juta.
"Saya juga waktu itu ditolak dirawat di RSCM karena dianggap tidak mengalami pendarahan dan saya dianggap masih bisa berjalan," kata Maesaroh dengan nada lirih.
Novi melanjutkan, dirinya kembali berusaha membawa berobat ibunya ke rumah sakit.
Kali ini ia membawanya ke RS Polri Kramatjati.
Maesaroh pun sempat dirawat seminggu dan menjalani tranfusi darah.
"Tapi tetap aja tidak membuahkan hasil karena RS Polri Kramatjati tidak memiliki rontgen BNO," ungkapnya.
Kini setelah hampir empat bulan berlalu usai perjualan yang dilalui, Maesaroh hanya dapat duduk dan terbaring di rumah kontrakan yang disewa anaknya.
Ia kini tidak bisa berbuat banyak dan berdiam diri saja.
"Saya hanya berharap supaya penyakit saya cepat ditangani. Sekarang pun sulit buang air karena tidak bisa jongkok karena perutnya sudah besar sekali," katanya.
Maesaroh bahkan memiliki ketakutan perutnya akan pecah. Pasalnya perut tersebut kian hari kian membengkak dan semakin keras.
Sementara itu Kasudin Kesehatan Jakarta Timur, Iwan Kurniawan yang mengetahui informasi tersebut langsung bergerak ke lokasi.
Bersama beberapa orang petugas kesehatan, Iwan langsung membawa Maesaroh untuk mendapatkan penanganan.
"Kami akan membawanya ke RS Budhi Asih untuk mendapatkan penanganan penyakit yang diderita," ungkapnya.
Iwan menambahkan untuk biaya pengobatan, Maesaroh tidak perlu khawatir.
Hal itu akan ditanggung oleh negara sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Adapun mengenai penyakit yang diderita Maesaroh, hal itu harus dipastikan terlebih dahulu dengan penanganan intensif.
"Kami akan memeriksa dulu untuk kemudian diputuskan tindakan seperti apa yang diperlukan," tutupnya.