KPAI Desak Polri dan Menkes Urut Keterlibatan RS soal Kasus Vaksin Palsu
Kesuksesan Bareskrim mengungkap kasus vaksin palsu untuk bayi diapresiasi oleh KPAI
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kesuksesan Bareskrim mengungkap kasus vaksin palsu untuk bayi diapresiasi oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Anggota KPAI Susanto meminta aparat berwajib menghukum para pelaku dengan hukuman yang seberat-beratnya.
"Kejahatan ini tidak bisa ditoleransi, kami minta ini diusut sampai tuntas. Tidak boleh ada orang yang mengais rezeki atas nama kesehatan dan mengancam keselamatan orang lain," tutur Susanto, Sabtu (25/6/2016).
Selain itu Susanto juga meminta Bareskrim dan Menkes membongkar ke publik soal siapa-siapa yang terlibat di kasus ini. Terlebih jaringan vaksin ini sudah beraksi selama belasan tahun.
"Pokoknya segera beritahu ke publik hasil investigasi untuk memastikan rumah sakit mana, apotik mana dan bayi dimana saja yang terindikasi menggunakan vaksin palsu," bebernya.
Untuk diketahui atas kasus ini Bareskrim telah melakukan penggerebekan di enam lokasi yang adalah tempat distribusi dan pembuatan vaksin palsu.
Tidak tanggung-tanggung ada 10 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan kini ditahan di Bareskrim. Mereka yakni lima orang produsen, dua kurir, dua penjual dan satu pencetak label vaksi.
Seperti diketahui, penyidik Subdirektorat Industri dan Perdagangan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri membongkar sindikat pemalsu vaksin untuk balita.
Dari operasi tersebut, diketahui bahwa sindikat tersebut telah memproduksi vaksin palsu sejak tahun 2003 dengan distribusi di seluruh Indonesia.
"Dari pengakuan para pelaku, vaksin palsu sudah menyebar ke seluruh Indonesia. Sejak kapannya, yaitu sejak 2003," ujar Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen (Pol) Agung Setya di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (23/6/2016).
Hingga saat ini, penyidik baru menemukan barang bukti vaksin palsu di tiga daerah, yakni Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta.
Agung menjelaskan, pelaku berjumlah 10 orang. Dari 10 orang itu, lima orang bertindak sebagai produsen, dua orang sebagai kurir, dua orang sebagai penjual dan satu orang bertindak sebagai pencetak label vaksin palsu.
Kelompok penjual dan produsen masing-masing mendapat keuntungan paling besar dari praktik ilegal tersebut.
"Untuk produsen mendapat keuntungan Rp 25 juta per pekan. Sementara penjual Rp 20 juta per pekan," ujar Agung.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.