Nasib Tragis Petinju Nasional. Jualan Rokok Digusur Satpol PP, Kini Jadi Tukang Ojek
Kini, Yanto bersama istri dan dua anaknya hidup di kamar kontrakan dengan biaya sewa Rp1 juta di Kemanggisan, Jakarta Barat.
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews, Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Gerobak kusam teronggok di sisi rumah warga Jalan Taman Tanah Abang III, Jakarta Pusat, menjadi saksi bisu perjalanan hidup mantan atlet petinju nasional Suyanto (49).
Kini, setelah gerobak yang dipakai untuk mengais rezeki itu ditertibkan petugas Satpol PP, Yanto mencoba peruntungan hidup menjadi pelatih boxing Muathai hingga tukang ojek aplikasi 'Go-Jek',
Pekerjaan-pekerjaan tersebut terpaksa dilakoni oleh petinju peraih juara di kejuaraan nasional ad-interim kelas Terbang Mini (1993) itu demi menyambung hidup setelah pensiun dari dunia tinju pada 2001.
"Setelah gerobak warung rokok saya digusur akhir 2014 oleh Satpol PP, saya jadi pelatih Muay Thai Boxing. Lalu akhir 2015 saya jadi driver Go-jek," kata mantan petinju nasional yang punya julukan di ring 'Yanto de Villa' itu saat ditemui di Muay Thai Camp, Bilangan Jalan Taman Sari Raya, Jakarta Barat, akhir pekan lalu.
Yanto menceritakan, dirinya menjadi penjual rokok dan minuman ringan dengan modal gerobak sejak 1999 atau saat masih bergabung dengan Sasana Arseto milik promotor Taurino Tidar di Jalan Taman Tanah Abang III. Lokasi berdagangnya pun hanya sekitar 50 meter dari sasana tersebut.
"Terpaksa dagang rokok karena memang saya sudah nggak punya duit.
Sementara saya sudah berkeluarga dan punya tiga anak," ucapnya.
Pria asal Nganjuk, Jawa Timur itu menceritakan, dirinya telah dikaruniai tiga anak dari hasil pernikahan dengan dua wanita berbeda.
Seorang putrinya yang masih duduk di Kelas 3 SMP tinggal bersama keluarga di Surabaya, Jatim. Sementara, istri dan anak bungsu tinggal di Cirebon, Jawa Barat dan putra pertamanya tinggal di Kebon Jeruk, Jakarta.
Kini, Yanto bersama istri dan dua anaknya hidup di kamar kontrakan dengan biaya sewa Rp1 juta di Kemanggisan, Jakarta Barat.
"Sebelum menikah lagi, saya dikaruniai dua anak dari istri pertama yang almarhumah," jelasnya.
Yanto baru benar-benar pensiun dari dunia tinju pada tahun 2001. Padahal, saat itu ia telah menandatangani kontrak pertandingan melawan petinju Wonder Boy Wonoroya.
Saat itu, Yanto memilih menanggalkan sarung tinju dan mengakhiri karir tinjunya selama 14 tahun lantaran sang istri yang baru melahirkan seorang bayi mengkhawatirkan keselamatannya. Sebab, saat itu dunia tinju nasional baru saja berduka setelah petinju Muhammad Alfaridzi tewas setelah ambruk di atas ring.
"Saat itu, istri saya menangis ketakutan kalau saya harus tanding lagi. Yah, saya akhirnya batalkan pertandingan karena ingat istri dan punya anak bayi baru lahir," ucapnya.
Ia mengaku ekonomi hidupnya makin sulit setelah tempat dagangnya itu diangkut oleh petugas Satpol PP. Sebelumnya, ia bisa menyisikan uang dari hasil dagangnya itu untuk ditabung dan dikirim untuk biaya hidup istri dan biaya sekolah anak.
"Barusan anak saya yang SMP di Surabaya telepon, dia minta dikirimi uang Rp500 ribu untuk patungan kegiatan sekolah dan bayar SPP, Rp130-an ribu," kata Yanto menjelaskan obrolan dengan anaknya yang masuk ke telepon genggamnya.
Lewat bantuan temannya, akhirnya Yanto berusaha menyambung hidupnya dan keluarganya dengan menjadi pelatih Muay Thai Boxing pada akhir 2014. Kebetulan, ia mempunyai kemampuan dasar-dasar olahraga seni bela diri asal negara gajah, Thailand tersebut dari latihan di sasana Arseto.
Yanto hanya digaji Rp2 juta per bulan dan uang makan Rp20 ribu per hari dari jasanya menjadi pelatih olahraga tersebut. "Sangat jauh dari cukup. Dulu saya sering pusing kalau diminta uang untuk bayaran sekolah anak, belum lagi biaya susu untuk anak yang masih bayi," ucapnya lirih.
Sebagai kepala rumah tangga, Yanto berpikir keras agar bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Lantas, atas saran seorang jurnalis, Yanto mencoba mencari duit tambahan dengan menjadi driver ojek aplikasi, Go-Jek, pada akhir 2015.
Sebuah motor yang dibeli kredit menjadi pilihannya lantaran tak mempunyai modal untuk membeli secara tunai. Kala hari masih gelap atau sesaat waktu salat Subuh dirinya sudah berangkat dari rumah di Kemanggisan untuk mencari calon penumpang ojek palikasinya. Sekitar pukul 10.00 ia berangkat menuju tempat latihan Muay Thai Boxing di kawasan Taman Sari.
"Paling narik Go-Jek selama tiga sampai empat jam. Penghasilan Rp 50 ribu sampai Rp 60 ribu yang masuk ke kantong. Setelah ngojek, saya ke sini pukul sepuluh siang sampai pukul duabelas malam. Kebanyakan latihannya pada malam hari. Setelah itu pulang ke kontrakan. Keesokan paginya ke luar narik ojek lagi dan melatih seperti itu lagi," ujarnya.
"Kalau saya cuma dari bayaran sebagai pelatih dan nggak narik ojek, saya puyeng juga nggak bisa meninggalkan yang untuk istri dan bayi di kontrakan. Saya bisa tambah sengsara," sambungnya.
Santo pun tersadar, pekerjaan barunya ini tak seindah cerita dari mulut warga atau pun pemberitaan di media massa. Sebab, persaingan antar sesama-driver terbilang ketat dan cenderung ada yang bermain curang.
"Saya nggak tahu caranya kalau driver ojek online yang bisa dapat uang sampai Rp5 juta sebulan. Saya dapat Rp50 ribu dalam empat jam narik saja sudah susah. Karena persaingannya ketat dan ada yang pakai 'tuyul' atau istilahnya 'begal' orderan penumpang. Jadi, orderan penumpang saya sudah beberapa kali tiba-tiba hilang diambil sama driver lain," paparnya.
Mantan petinju nasional Suyanto (49) yang mempunyai nama di ring 'Yanto de Villa' mengawali karir tinju sejak 1986 dan tergabung dengan Sasana Arseto Jakarta.
Yanto kecil dan muda sudah gemar berkelahi dan adu jotos. Pertandingan petinju Indonesia asal Timor Loro Sae, Thomas Americo, penyabet juara dunia WBC kelas walter ringan, yang dilihat di layar televisi hitam putih menjadi inspirasi Yanto de Villa untuk menyalurkan hobi adu jotosnya menjadi petinju profesional.
Sepanjang karir 14 tahun di dunia tinju, Yanto pernah menyabet juara di Kejuaraan Tinju se-Jabodetabek hingga Kejuaraan hingga Nasional Ad-Interim Kelas Terbang Mini pada 1993.
"Sebelum dari Nganjuk datang ke Jakarta dan gabung ke Sasana Arseto, saya tidak direstui oleh ibu saya menjadi petinju. Tapi, setelah saya bilang, 'daripada saya berkelahi terus dan diangkut polisi, lebih baik olahraga tinju', akhirnya ibu saya meyetujui," ujarnya. (*)