Wacana Hak Angket Ahok, Hanura: Jangan Ribut-ribut Dulu, Lebih Baik Minta Penjelasan Mendagri
Daripada muncul polemik satu sama lain, lebih baik Komisi II meminta penjelasan resmi mendagri dalam hal ini. Tidak usah ribut-ribut dulu.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fraksi Hanura angkat bicara mengenai wacana Hak Angket Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang digulirkan PKS.
Sekretaris Fraksi Hanura Dadang Rusdiana menilai Komisi II DPR RI dapat memanggil Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
Hal itu untuk mendapat penjelasan pemerintah mengenai Ahok yang belum dinonaktifkan sebagai Gubernur DKI Jakarta meski berstatus terdakwa.
"Daripada muncul polemik satu sama lain, lebih baik Komisi II meminta penjelasan resmi mendagri dalam hal ini. Tidak usah ribut-ribut dulu," kata Dadang ketika dikonfirmasi, Senin (13/2/2017).
Menurut Dadang, persoalan tersebut hanya perbedaan sudut pandang. Pasal 83 ayat 1 UU no 23 Tahun 2014 tentang Perintah Daerah yakni diberhentikan sementara bila melakukan tindak pidana sekurang-kurangnya 5 tahun. Sedangkan Mendagri mendasarkan diri pada 156 KUHP dimana dakwaan terhadap Ahok maksimal 4 tahun.
"Sudut pandang ini yang digunakan mendagri sehingga tidak memberhentikan sementara Ahok," kata Dadang.
Dadang mengingatkan hak angket digunakan menyangkut persoalan penting, strategis dan berdampak luas.
Baca: Presiden Bisa Dituduh Langgar UU Jika Tidak Berhentikan Ahok
Sedangkan masalah beda penafsiran UU dan KUHP, kata Dadang, bisa digelar rapat antara Komisi II dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
"Apalagi pakai mewacanakan hak angket segala. Itu sangat berlebihan. Memangnya Indonesia itu hanya Jakarta? Energi kita dikuras buat menguras Jakarta," kata Dadang.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Almuzzammil Yusuf menegaskan DPR dapat menggunakan Hak Angket jika Presiden RI tidak mengeluarkan surat pemberhentian sementara terhadap Basuki Tjahya Purnama (BTP) atau Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur DKI, sesuai dengan Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 83 ayat 1,2, dan 3.
"Setelah menerima kajian dan aspirasi dari berbagai kalangan masyarakat, tokoh masyarakat, dan para pakar tentang pengabaian pemberhentian terdakwa BTP dari jabatan Gubernur DKI oleh Presiden, maka DPR RI dapat menggunakan fungsi pengawasannya dengan menggunakan hak angket terhadap pelaksanaan Undang-Undang No.23 Tahun 2014 Pasal 83 Ayat 1,2, dan 3," tegas Almuzzammil dalam keterangan pers, Sabtu (11/2/2017).
Menurut Almuzzammil, berdasarkan Pasal 83 ayat 1,2, dan 3 Presiden RI berkewajiban mengeluarkan surat keputusan tentang pemberhentian sementara sampai status hukumnya bersifat tetap bagi gubernur yang berstatus sebagai terdakwa yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun berdasarkan register perkara di pengadilan.
"Sudah cukup bukti dan dasar hukum bagi Presiden untuk memberhentikan sementara BTP dari jabatan Gubernur DKI. Pertama, status BTP sudah terdakwa penistaan agama dengan Nomor Register Perkara IDM 147/JKT.UT/12/2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Kedua, yang bersangkutan didakwa pasal 156a dan 156 KUHP tentang penodaan agama dengan hukuman penjara 5 tahun dan 4 tahun," kata Politikus PKS itu.