Presiden Soekarno Terbitkan Pasal Penistaan Karena Kyai Dibunuh, Al-Quran Diinjak-injak
Menurutnya, pada saat itu konstelasi politik ada tiga kekuatan, di satu sisi PKI dihadapkan dengan islam, dan PKI dihadapkan dengan TNI dalam hal ini
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ahli hukum pidana Universitas Gajah Mada (UGM), Edward Omar Sharif Hiariej menilai, dugaan penodaan agama yang dilakukan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama tidak tepat jika dijerat dengan Pasal 156 a KUHP.
Dalam persidangan, Edward yang dihadirkan penasihat hukum terdakwa itu menjelaskan, pasal itu baru ada setelah Indonesia merdeka.
"Jadi kalau ditanya soal Pasal 156 a, tidak bisa terelepas dari UU no 1 PMPS Tahun 1965. Kalau kita tinjau ketentuan itu diterbitkan Presiden Soekarno pada tanggal 27 Januari 1965 tepat dua minggu setelah peristiwa di Dusun Panigoro Madiun," kata Edward di Auditorium Kementrian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (14/3/2017).
Menurutnya, pada saat itu konstelasi politik ada tiga kekuatan, di satu sisi PKI dihadapkan dengan islam, dan PKI dihadapkan dengan TNI dalam hal ini Angkatan Darat.
"Pembunuhan di dusun panigoro setelah sholat subuh waktu itu, para kiyai dan para santri dibantai dan dibunuh, Al Quran diinjak-injak dan disobek. terjadi eskalasi politik yang luar biasa pada saat itu sehingga Presiden Soekarno mengeluarkan UU No 1 PMPS 1965," katanya.
Dirinya menjelaskan, yang dimaksud penistaan agama adalah hal yang diceritakan diatas.
Edward menjelaskan, untuk menetapkan sesorang melakukan penistaan terhadap agama tidak mudah. Ada sejarah panjang dilahirkannya kedua pasal yang diberikan JPU kepada Ahok.
Menurutnya, Undang-Undang tersebut terdiri dari lima pasal. Dalam Pasal 1,2, dan 3 berkaitan dengan penafsiran terhadap ajaran agama atau adanya peribadatan yang menyimpang dari ajaran agama yang dianut di Indonesia.
Sedangkan Pasal 5 menyebutkan Undang-Undang tersebut berlaku saat diundangkan yakni 27 Januari 1965.
"Sementara pasal nomor 4, isinya adalah pasal 156a yg berisi mengenaipenodaan dan penistaan terhadap agama, lalu kemudian ada 156 yang terdiri dari huruf a dan b," katanya.
Sekadar diketahui, permasalahan ini bermula ketika Ahok melakukan kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu 27 September 2016 lalu. Ketika itu, dalam sambutannya Ahok menyeret Al-Maidah ayat 51.
Sehingga dalam kasus ini, Ahok didakwa melakukan penodaan agama terkait pernyataannya tentang surat Al-Maidah ayat 51 di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
Ahok didakwa dengan dakwaan altenatif pasal 156 a dan atau pasal 156 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara.