Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Menteri Agraria dan Gubernur DKI Diminta Jelaskan Diterbitkannya HGB Pulau D

Wakil Ketua DPR, Fadli Zon protes keras dengan diterbitkannya Hak Guna Bangunan (HGB) Pulau D hasil reklamasi di Teluk Jakarta.

Penulis: Wahyu Aji
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Menteri Agraria dan Gubernur DKI Diminta Jelaskan Diterbitkannya HGB Pulau D
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Sejumlah massa yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta melakukan aksi di depan Gedung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta, Kamis (3/11/2016). Aksi tersebut mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk membatalkan reklamasi serta mencabut izin lingkungan di Pulau G, C, dan D karena reklamasi merugikan nelayan tradisional. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wakil Ketua DPR, Fadli Zon protes keras dengan diterbitkannya Hak Guna Bangunan (HGB) Pulau D hasil reklamasi di Teluk Jakarta.

Menurutnya, keputusan itu merupakan akrobat hukum yang luar biasa, bisa mengarah pada abuse of power.

Fadli mengatakan, alih-alih memberikan sanksi terhadap para pengembang yang telah melakukan pelanggaran hukum baik dalam proses reklamasi, maupun tahapan pembangunan di pulau-pulau hasil reklamasi--sebelum moratorium dicabut--pemerintah kini justru menyerahkan HGB kepada mereka.

"Itu tindakan yang mencederai akal sehat dan mengusik rasa keadilan masyarakat," kata Fadli dalam keterangan yang diterima, Minggu (3/9/2017).

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini menyoroti, ada beberapa alasan penerbitan HBG Pulau D harus dipersoalkan.

Baca: Terbunuhnya Pegawai BNN Pertama Kali Dikabarkan Sang Putri yang Berusia 4 Tahun

Berita Rekomendasi

Pertama, pemerintah tidak konsisten dengan moratorium reklamasi. Apalagi, Pulau C dan D, juga Pulau G, hingga kini posisinya masih disegel oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, karena melanggar perizinan terkait IMB, Amdal, dan sejumlah ketentuan lainnya.

Kedua, ini bisa menjadi preseden buruk penegakan hukum dalam politik tata ruang, khususnya untuk kasus-kasus yang melibatkan pengembang-pengembang besar.

Menurutnya, dengan menerbitkan HGB, pemerintah seolah membenarkan para pengembang untuk mengerjakan proyek lebih dahulu sebelum mereka mengurus perizinannya.

"Ini bahaya. Bisa-bisa politik tata ruang kita nantinya didikte sepenuhnya oleh para pengembang. Jangan lupa, di luar polemik reklamasi kita juga sedang menghadapi persoalan terkait perizinan proyek Meikarta, yang menurut Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar perizinannya belum lengkap. Pemberian HGB Pulau D ini benar-benar preseden buruk," kata Fadli.

Ketiga, dia menilai secara administratif penerbitan HGB Pulau D juga dicurigai mengandung banyak cacat.

Soal HGB, katanya, konon diterbitkan hanya berselang sehari sesudah surat ukur lahannya diberikan.

Baca: Apa Kabar Sarah Amalia Mantan Istri Ariel Noah? Penampilannya Kini Bikin Pangling

"Ini proses super kilat yang tak masuk akal. Lalu, sertifikat ini juga diterbitkannya oleh Kantor Pertanahan Jakarta Utara, padahal luas lahan di-HGB-kan mencapai Rp 3,12 juta meter persegi," kata Fadli.

Fadli mengutip Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional 2/2013, yang isinya Kantor Pertanahan hanya bisa memberikan HGB atas tanah maksimal 20 ribu meter persegi.

"Jadi, bagaimana ceritanya sebuah kantor pertanahan di level kota/kabupaten bisa memberikan HGB tanah lebih dari tiga juta meter persegi? Bahkan kanwil pertanahan di provinsi saja sesuai aturan hanya bisa memberikan HGB maksimal untuk tanah seluas 150 ribu meter persegi," kata Fadli.

Selain itu, Fadli juga menilai, ketidakberesan juga bisa dilihat dari sertifikat HGB itu hanya diberikan kepada satu perusahaan pengembang.

Padahal, sesuai dengan Surat Edaran (SE) Menteri Agraria/Kepala BPN No. 500-1698 tanggal 14 Juli 1997, disebutkan jika permohonan izin lokasi dan hak atas tanah yang meliputi keseluruhan dari satu pulau tidak diperkenankan.

"Nah, ini satu pulau reklamasi yang perizinannya bermasalah, HGB-nya diserahkan begitu saja hanya kepada satu pengembang. Ini benar-benar menyakiti akal sehat dan rasa keadilan masyarakat," katanya.

"Jika pelanggaran tata ruang dilakukan oleh rakyat kecil, mereka langsung berhadapan dengan polisi, aparat penegak hukum dan buldoser. Tapi jika pelanggaran tata ruang itu dilakukan oleh pengembang besar, mereka mendapatkan permakluman, pengampunan, dan bahkan kemudian mendapatkan keistimewaan," tambahnya.

Di luar isu penegakan hukum dan keadilan, dia juga mencium ada kesan bahwa pihak pemerintah, baik pusat maupun Provinsi DKI, dalam beberapa bulan terakhir ini sebenarnya sedang melakukan kejar tayang agar sebelum Oktober 2017 nanti, seluruh keperluan legal untuk melanjutkan kembali proyek reklamasi telah selesai.

"Seperti yang kita ketahui, Pilkada DKI pada Februari lalu dimenangkan oleh pasangan Anies-Sandi, yang salah satu programnya adalah penghentian proyek reklamasi. Keduanya juga getol mewacanakan untuk mengubah fungsi pulau hasil reklamasi yang bermasalah, dari semula kawasan hunian dan bisnis mahal, kemudian akan dijadikan ruang terbuka hijau," kata Fadli.

Pengerjaan proyek pembangunan permukiman, perkantoran, dan kawasan niaga, di pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta, Sabtu (12/12/2015).
Pengerjaan proyek pembangunan permukiman, perkantoran, dan kawasan niaga, di pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta, Sabtu (12/12/2015). (TOTOK WIJAYANTO/Kompas)

"Nah, saya melihat sejumlah keputusan penting terkait reklamasi yang dirilis pemerintah belakangan ini berpacu dengan waktu pelantikan Anies dan Sandi pada bulan Oktober nanti. Itu sebabnya, meskipun prosesnya tidak masuk akal, seperti pemberian HGB ini, pemerintah tutup mata," kata Fadli.

Fadli yakin sesudah HGB ini diberikan, berikutnya adalah izin lingkungan dan amdal untuk pulau-pulau reklamasi yang bermasalah juga akan segera diberikan, dan moratorium reklamasi akan segera dicabut oleh pemerintah.

Untuk itu dia mendesak, Menteri Agraria dan Gubernur DKI perlu mengklarifikasi masalah ini.

"Masalah ini bukan hanya soal agraria biasa, tapi sudah masuk dalam kategori abuse of power. Kita tak boleh membiarkan ini terjadi," katanya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas