Fifi Lety Indra Ogah Sebut Nama Buni Yani Usai Sidang PK Ahok
Fifi enggan menyebut nama Buni Yani usai sidang Peninjauan Kembali (PK) kasus penodaan agama Ahok di Pengadilan Negeri Jakarta Utara kemarin.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Adik mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang kini menjadi terpidana penodaan agama, Fifi Lety Tjahaja Purnama beberapa kali merujuk kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Buni Yani untuk membandingkan dengan penangan kasus kakaknya.
Meski begitu, ia enggan menyebut nama Buni Yani usai sidang Peninjauan Kembali (PK) kasus penodaan agama Ahok di Pengadilan Negeri Jakarta Utara kemarin.
Usai sidang permohonan peninjauan kembali (PK) atas kasus kakaknya, ia menggunakan frasa "yang tak bisa saya sebutkan namanya", "Bapak sana", "Bapak satunya", dan "yang tak mau saya sebutkan namanya" ketika diwawancara.
Pertama, Fifi mengungkapkan salah satu poin dalam PK yang diajukannya dan timnya.
Salah satu poin tersebut adalah kakaknya yang tetap ditahan walau sudah mengajukan banding ke pengadilan sementara ia melihat hal tersebut tidak terjadi di kasus Buni Yani.
"Dan riil isi PK kami akan jelaskan dalam memori PK kami yang sudah dibuat. Antara lain yang kita ketahui bersama Pak Ahok ditahan walau sudah banding. Sementara kalau kita menilik kasus yang lain, tak demikian, yang tak bisa saya sebutkan namanya. Tapi dari Josefina saja," kata Fifi.
Baca: Abu Bakar Baasyir Harus Pakai Kaus Kaki Ketat untuk Mencegah Pembengkakan Bertambah Parah
Selanjutnya Fifi kembali tidak mau menyebut nama Buni Yani ketika ia mengungkapkan kembali kasus yang menimpa kakaknya.
Ia mengungkapkan salah satu kejanggalan terkait awal laporan atas kakaknya yang tak dijadikan pertimbangan.
Menurutnya, isi dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi pelapor yang sama sementara tak ada satupun penduduk Kepulauan Seribu yang merasa tersinggung atau marah atas ucapan kakaknya ketika itu harus dijadikan bahan pertimbangan oleh hakim yang memutus perkara kakaknya.
Fifi menjelaskan, banyak orang marah atas ucapan kakaknya yang mengaitkan penggunaan surat Al Maidah ayat 51 dalam proses pemilihan kepala daerah justru setelah video tersebut diunggah dan diedit oleh Buni Yani.
"Ini marah dan tersinggung setelah ada editan dari Bapak sana (Buni Yani). Logikanya itu orang dan marah tersinggung dan kalau menyinggung agama orang lain orang di sana tersinggung. Apalagi di sana banyak orang pandai dan wartawan, semua adem ayem," kata Fifi.
Selanjutnya ia tidak mau menyebut nama Buni Yani kembali ketika menjelaskan rincian waktu ketika Buni Yani mengunggah video yang sudah dieditnya tersebut.
"Baru sembilan hari setelah itu, ada postingan dari bapak satunya (Buni Yani), kemudian terbukti ada putusan pengadilan bahwa putusan tersebut ada tindak pidana. Baru setelah postingan itu ada peristiwa yang bergulir," kata Fifi.
Baca: Perusahaan Jepang Diminta Sampaikan Permintaan Maaf kepada 400 Peserta Ujian Keperawatan Nasional
Terakhir, Fifi kembali tidak mau menyebut nama Buni Yani ketika membandingkan sikap kakaknya dalam persidangan kasus penodaan agama dengan sikap Buni Yani dalam persidangan pelanggaran UU ITE.
"Ahok itu perfect, gentleman dan dia patuh hukum. Dia membuktikan dirinya memberikan hormat ketika hakim menahan dia. Bisa dibandingkan dengan sikap orang lain, yang saya tak mau sebutkan namanya," ungkap Fifi.
Salah seorang pengacara Ahok lain yang juga turut hadir dalam sidang PK tersebut, Josefina Agatha Syukur menegaskan bahwa siapa orang yang tidak mau disebut namanya oleh Fifi adalah Buni Yani.
Ia juga menegaskan bahwa kasus Buni Yani juga memang dimasukkan dalam salah satu poin PK yang diajukannya.
Ia dan tim kuasa hukum Ahok menilai bahwa ada kekhilafan hakim dalam pengambilan keputusan terhadap Ahok dengan merujuk ke penanganan kasus Buni Yani.
"Ada beberapa antara lain soal kasus Buni Yani. Kami memang masukkan itu. Jadi dalam pasal 264 memang ada beberapa pasal yang dalam ajukan PK yang kami angkat adalah kekhilafan hakim dalam putusan hakim," kata Josefina.
Ia menerangkan bahwa kasus Ahok dan Buni Yani memang berbeda sama sekali. Ia juga menyatakan bahwa PK yang diajukannya bukan terkait dengan vonis Buni Yani yang dianggap ringan melainkan materi pertimbangan yang dijadikan rujukan majelis hakim.
"Bukan soal putusan yang ringan tetapi materi pertimbangannya yang di majelis hakim. Kan kasusnya Pak Ahok ini sama sekali tak ada hubungannya dengan kasus Buni Yani," ungkap Josefina.
Baca: Mengapa Didik Baru Mengaku Setelah Seminggu Lamanya Jasad Fitri Dicor?
Lebih jauh, ia menerangkan bahwa tim kuasa hukum Ahok melihat bahwa materi pertimbangan itulah yang dijadikan rujukan majelis hakim.
"Namun kami melihat bahwa di dalam putusan itu adalah dasar bagi Buni Yani dipidana karena dia mengedit video yang sudah ada. Videonya memang sama, tetapi kalimat yang ditambahkan itu tak sesuai. Jadi dia menambahkan kalimat yang tak sesuai. Itu yang kami masukkan," kata Josefina.
Selain itu hak lain yang dijadikan pengajuan PK oleh kuasa hukum Ahok adalah saksi ahli dari Ahok yang tak dijadikan pertimbangan oleh majelis hakim yang memvonis Ahok.
Di sisi lain, Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara yang hadir dalam sidang PK tersebut antara lain Sapto Subroto, Ardito, dan Lila Agustina menilai bahwa tidak ada kekhilafan dari majelis hakim yang menangani perkara Ahok.
Hal tersebut ditegaskan oleh Sapto usai persidangan.
"Kita menanggapi dari lima poin yang mereka kupas itu, masalah kekhilafan nggak ada di hakim. Bagi kami majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta utara yang memutus terpidana Ahok itu sudah benar," kata Sapto.
Ia juga mengatakan bahwa pihak JPU telah memberikan tanggapan terhadap PK dalam persidangan.
Sementara itu, sidang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis Mulyadi, serta Hakim Anggota Salman Alfaris dan Sugianto.
Hakim Ketua Majelis Mulyadi mengatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Utara tidak akan membuka sidang tersebut kembali untuk selanjutnya apabila tidak ada tanggapan kembali dari JPU.
Baca: Warga Tidak Curiga Melihat Didik Mengaduk Semen, Ternyata untuk Mengecor Jasad Fitri
Ia memperkirakan bahwa dalam waktu satu minggu berkas tersebut sudah bisa dilimpahkan ke Mahkamah Agung.
"Kalau dari JPU masih ada tanggapan terakhir, ditunggu dalam 2-3 hari silakan diserahkan ke panitera. Kalau tidak ada, ini semua (berkas PK) kami periksa untuk nanti segera diserahkan ke MA. Sehingga kita di sini sudah tidak perlu buka sidang lagi," kata Mulyadi sebelum menutup sidang.
Massa dari Alumni 212 bakal bereaksi keras jika majelis hakim mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) kasus penodaan agama yang diajukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Mereka berjanji mengerahkan massa dalam jumlah besar, karena majelis hakim dinilai sudah memancing keributan umat.
"Bisa jadi dengan aksi bela Islam jilid empat," ujar Ketua Aliansi Pergerakan Islam (API) Jawa Barat Asep Syarifuddin.
Menurut Asep Syarifuddin, tindakan Mahkamah Agung (MA) yang sudah menerima dan mengakomodir sidang PK Ahok, sama dengan memancing keributan.
"Kalau majelis hakim sampai mengabulkan PK Ahok, berarti majelis hakim provokator," kata Asep Syarifuddin.
Pro Kontra Beraksi
Kemarin ribuan warga pro dan kontra sidang PK Ahok mengawal jalannya sidang, dengan cara berorasi di depan PN Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat.
Aksi yang berlangsung sejak pagi tersebut berakhir pada pukul 11.00 WIB, dengan pengamanan ketat dari aparat gabungan.
Di saat bersamaaan, suasana di lingkungan permukiman Ahok di Penjaringan, Jakarta Utara, tepatnya di Perumahan Pantai Mutiara Pluit, saat sidang dilaksanakan sangat sepi.
Beberapa awak media di depan gerbang masuk Perumahan Pantai Mutiara yang dihuni Ahok dan keluarganya, tampak sepi.
Tak ada pendemo, bahkan tidak ada penjagaan khusus dari kepolisian maupun TNI. Suasana di lingkungan rumah Ahok, terpantau hanya dijaga oleh dua hingga tiga petugas keamanan kompleks setempat.
Hilir mudik para penghuni di Perumahan Pantai Mutiara yang keluar masuk, tampak di perumahan elite itu.
Para awak media dilarang masuk oleh petugas keamanan di perumahan yang berbatasan langsung dengan pantai itu.
Alasannya, dapat menganggu kenyamanan sejumlah penghuni di Pantai Mutiara tersebut.
"Tidak boleh masuk. Hanya penghuni saja yang boleh," tegas seorang petugas keamanan di Perumahan Pantai Mutiara.
Terlihat beberapa warga yang juga penghuni Pantai Mutiara, menggunakan akses masuk ke perumahan tersebut, baik membawa kendaraan maupun berjalan kaki.
Polisi Periksa Ahok
Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya telah periksa mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terkait kasus dugaan korupsi proyek reklamasi Teluk Jakarta.
Dirkrimsus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Adi Deriyan Jayamerta mengatakan, Ahok menjalani pemeriksaan di rumah tahanan Markas Korps Brigade Mobil, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, awal Februari 2018.
"Pihak Ahok sudah dimintai keterangan di Mako Brimob. Sekitar Februari awal lah," ujar Adi.
Adi menerangkan, Ahok dicecar 20 pertanyaan berkaitan proyek reklamasi. Terutama, saat Ahok masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
"Yang pertanyaan yang berkaitan dengan kebijakan dia berkaitan dengan reklamasi pada saat dia menjadi gubernur ya," ujar Adi.
Menurut Adi, Ahok telah menceritakan kronologis kebijakan reklamasi saat masih menjabat.
"Kan itu kan banyak bercerita berkaitan dengan cerita kronologisnya pada masanya," ujar Adi.
Penyidik akan menjadwalkan pemeriksan terhadap mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat.
Namun, Djarot masih sibuk karena berpartisipasi di Pilkada Sumut.
"Pak Djarot belum, Pak Djarot kan masih sibuk pilkada," ujar Adi.
Sejauh ini, penyidik telah melakukan pemeriksaan terhadap pejabat dan pegawai kementerian terkait proyek reklamasi.
"Saksi sudah sekitar 42 ya terakhir," ujarnya.
Polisi menyelidiki dugaan korupsi dalam proyek reklamasi. Sebab, penetapan Nilai Jual Objek Pajak dirasa janggal.
NJOP Pulau C dan D ditetapkan senilai Rp 3,1 juta per meter persegi. Penetapan berdasarkan kajian independen Kantor Jasa Penilai Publik.
Badan Pajak dan Retribusi DKI Jakarta yang dipimpin Edi Sumantri pun menerbitkan surat keputusan pada 23 Agustus 2017 terkait NJOP.
Polisi menengarai penetapan NJOP itu, jauh di bawah perkiraan. Polisi menyelidiki reklamasi Teluk Jakarta sejak 14 September 2017.
Polisi menengarai ada pelanggaran pada Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Polisi sudah meningkatkan status kasus tersebut dari penyelidikan ke tahap penyidikan.
Namun, sejauh ini belum ada penetapan tersangka dalam kasus tersebut. (Tribun Network/bas/gita irawan/dennis destryawan/wly)