Bantu Biaya Orang Tua Cuci Darah Alasan Polisi Tak Menahan Pengemudi BMW
Halim menerangkan, selain ada upaya mediasi, polisi juga melihat sisi kemanusiaan.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polisi tak melakukan penahanan terhadap Tiara Ayu Fauzyah (24), pengemudi BMW yang menabrak seorang ojek daring, Moh Nur Irfan (38).
Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Pol Halim Pagarra menjelaskan, alasan pihak kepolisian tak melakukan penahanan terhadap Tiara.
Terutama karena ada upaya dari Tiara melakukan mediasi, seperti meminta maaf kepada keluarga korban dan menanggung seluruh pengobatan Irfan yang mengalami patah kaki kiri.
"Kalau tidak terjadi mediasi terhadap keluarga saya tahan," ujar Halim saat dikonfirmasi wartawan, Kamis (12/4/2018).
Halim menerangkan, selain ada upaya mediasi, polisi juga melihat sisi kemanusiaan. Sebab, Tiara hendak mendampingi orang tuanya yang menderita gagal ginjal, dan diharuskan cuci darah.
"Kita lihat sisi kemanusiaan, bahwa tersangka ini, orang tuanya lagi cuci darah," ujar Halim.
Apalagi, ucap Halim, Tiara merupakan tulang punggung keluarga. Sehingga, harus membiayai pengobatan cuci darah orang tuanya.
"Tersangka juga tulang punggung dari keluarganya. Dan dia bilang ke saya mencari uang untuk kebutuhan cuci darah orang tuanya," ujarnya.
Sebelumnya, Kasubdit Bin Gakkum Polda Metro Jaya, AKBP Budiyanto menerangkan, Tiara mengendarai mobil BMW 320 i-nya.
Tabrakan itu, menyebabkan kaki kiri Irfan patah. Irfan dilarikan ke Rumah Sakit Tarakan, Jakarta Pusat, atas kejadian itu.
"Kaki kiri patah akibat kejadian tersebut," ujar Budiyanto saat dikonfirmasi wartawan, Selasa (9/4/2018).
Tiara melaju dari arah utara menuju selatan di Jalan Hayam Wuruk. Sesampainya di lampu merah Harmoni, Tiara menabrak body samping kiri sepeda motor milik Irfan.
Tiara telah ditetapkan menjadi tersangka karena mengakibatkan korban luka berat. Tiara dijerat Pasal 310 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dengan ancaman pidana penjara 5 tahun dan/atau denda Rp 10 juta.