Hari Anti Ujaran Kebencian Bisa Membuat Orang Lebih Dapat Mengendalikan Diri kata M Monib
Di tahun politik seperti ini banyak golongan masyarakat menggunakan ujaran kebencian (hate speech) untuk kepentingan kelompok mereka.
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di tahun politik seperti ini banyak golongan masyarakat menggunakan ujaran kebencian (hate speech) untuk kepentingan kelompok mereka.
‘Perang’ ujaran kebencian membuat dunia maya di Indonesia seakan sesak. Propaganda, fitnah, menjelek-jelekkan, saling menjatuhkan, menjadi santapan sehari-hari.
Alhasil, masyarakat pun dibuat resah dan bingung oleh permainan para elit demi untuk mendapatkan simpatik dan dukungan.
Fakta itulah yang membuat harus ada langkah untuk mengerem semakin maraknya ujaran kebencian tersebut. Hate free day atau hari anti ujaran kebencian sepertinya bisa menjadi solusi untuk mengerem ujaran kebencian sekaligus mengajak masyarakat untuk menahan diri dalam bermedia sosial. Langkah ini seperti yang kini tengah tren yaitu car free day atau hari bebas kendaraan.
Pengasuh Pesantren Fatihatul Quran Muhammad Monib melihat, hate free day bisa menjadi salah satu solusi untuk mengkampanyekan satu hari tanpa ujaran kebencian.
Dengan hate free day masyarakat bisa introspeksi dan saling merangkul untuk menguatkan persatuan dan kesatuan.
“Kata Sang Budha (Sidharta Gautama), jagalan akalmu karena itu adalah akar dari semuanya. Maksudnya, kebencian terjadi karena tidakpahaman akal, pikiran, dan wawasan seseorang. Dengan adanya hate free day, masyarakat bisa berkomunikasi dan berdiskusi secara langsung sehingga tidak timbul salah paham dan sebagainya,” ujar Monib, Rabu (9/5/2018).
Monib mengungkapkan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi orang sehingga sangat mudah terpengaruh dengan ujaran kebencian. Hal ini tergantung kepada pemahaman keagamaan masyarakat dan dapat juga diperparah oleh faktor politik.
Selain itu, ujaran kebencian bisa membuat orang menjadi radikal meski tidak single factor (faktor tunggal). Ada beberapa faktor lain yang mempengaruhinya, salah satunya karena dangkalnya ilmu dan pemahaman agama sehingga menyebabkan seseorang menjadi ekstrem. Orang-orang seperti ini sangat mudah diperalat atau dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
“Hate free day adalah upaya melawan apa yang dikembangkan tapi membawa keburukan dan merusak kebersamaan. Jadi kalo ada hari anti ujaran kebencian itu bisa membuat orang lebih dapat mengendalikan diri saat bermedia sosial,” tutur Monib.
Sekarang ini, ujaran kebencian itu dianggap sebagai pembelaan terutama yang menyangkut agama. Sekarang bahkan banyak masjid menyampaikan khutbah dan diselingi dengan ujaran kebencian terhadap sesama.
“Sebagai umat islam, ini sangat tragis,” tukas Monib.
Monib menambahkan bahwa ujaran kebencian sengaja dilakukan oleh golongan atau kelompok, tetapi apa yang terjadi ini memiliki sejarah panjang. Menurutnya, ujaran kebencian ini sudah terjadi di era awal islam pasca wafatnya Rasulullah SAW.
Begitu juga di era dinasti Umayyah, ada sebuah kekuatan politik yang selama 70 tahun menyebarkan ujaran kebencian dan hoax kepada kelompok lain itu.
Terkait konsep khilafah yang diusung kelompok tertentu di Indonesia, Dosen studi Agama di Universitas Prasetya Mulya ini mengungkapkan bahwa khilafah islamiyah adalah konsep ilusi.
Menurutnya hampir tidak ada negara yang terbentuk dengan sistem syariah yang kondisi sosial politik daerah negara itu maju makmur modern, mampu memproduksi dan ilmu pengetahuannya berkembang kecuali Iran.