Cerita Masjid Jami Cikini Al-Ma'mur Peninggalan Sang Maestro Pelukis Raden Saleh
Warna putih dan hijau mendominasi keseluruhan warna masjid yang diperkirakan dibangun sejak tahun 1860 itu.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Rachmat Hidayat
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Waktu menunjukkan pukul 11.50 WIB. Tiga menit menuju azan Zuhur, para jamaah mulai berduyun-duyun datang ke salah satu masjid bersejarah di Jakarta ini.
Masjid Jami Cikini Al-Ma'mur, yang terletak di dekat jantung Ibu Kota. Tepatnya di Jalan Raden Saleh Raya Nomor 30, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat. Warna putih dan hijau mendominasi keseluruhan warna masjid yang diperkirakan dibangun sejak tahun 1860 itu.
Lokasinya berada di samping aliran sungai Ciliwung di pinggir jembatan Raden Saleh. "Sebelum dipindah kesini, masjid sebelumnya ada di dalam kompleks rumah Raden Saleh. Kurang lebih 80-100 meter lah dari tempat sekarang. Tempat yang dulu sekarang jadi asrama (RS PGI Cikini)," tutur H. Syahlani, selaku ketua pengurus masjid.
Dulu, Syahlani melanjutkan, Masjid Jami Al-Makmur berdiri di atas tanah kosong milik Raden Saleh Syarif Bustaman atau maestro pelukis Raden Saleh. Sebelum hijrah dan menikah dengan istrinya di Bogor, Raden Saleh mewakafkan sebagian tanahnya untuk didirikan masjid.
Bentuk masjid waktu itu sangat sederhana. Dindingnya dari bambu (gedek), berukuran kecil seperti rumah panggung."Dari cerita turun-temurun warga Cikini, saat masjid dipindahkan ke lokasi sekarang, warga beramai-ramai menggotong bangunan itu," ujar Syahlani.
Kepada tuan tanah keturunan Arab, Raden Saleh menjual seluruh tanah miliknya, termasuk bangunan masjid, setelah dirinya hijrah ke Bogor. Setelah berada di keluarga keturunan Arab tersebut, tanah kembali dijual kepada Yayasan Ratu Emma, yayasan milik orang Belanda yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan dan sosial.
Secara bergotong royong, masjid lalu dipindahkan beberapa meter dengan cara dipanggul. 26 Mei 1995 lalu, Surjadi Soedirja, Gubernur DKI Jakarta kala itu meresmikan Masjid Jami Cikini Al-Ma'mur.
Kini, masjid tidak hanya menjadi rumah ibadah, tetapi juga memiliki sekolah dan madrasah yang berada satu kompleks dengan masjid. Madrasah menerima siswa setingkat SD, SMP, dan SMA dan memberikan pelajaran di antaranya Alquran, Hadis, Inadah Syari'ah, Fikih, Akidah, Akhlak, Sejarah Kebudayaan Islam, serta Bahasa Arab.
H. Syahlani menceritakan, karena lokasi masjid yang berdekatan dengan Sungai Ciliwung, para jamaah lebih mudah mengambil air wudu. Dia mengingat saat dirinya masih kecil, air sungai masih sangat bersih hingga lapisan pasir di bawahnya terlihat.
"Tahun 1980-an, masjid direnovasi, lalu tangga yang menghubungkan antara masjid dan tempat wudu ditutup," kenang pria berumur 70 tahun ini.
Tambahnya, arsitektur dari Masjid Jami Cikini banyak dipengaruhi oleh budaya Tionghoa. Atap masjid ini berbentuk limas terpancung dengan lengkung di ujung atap mirip bangunan kelenteng.
Lalu, di bagian belakang masjid tersebut juga ada sebuah kubah yang berbentuk bulat. Saat Ramadhan, masjid memberikan hingga 200 paket makanan berbuka gratis kepada pengunjung. "Beberapa ada juga sumbangan dari warga. Ada yang membawa lontong, es buah, pastel. Ini untuk mereka yang berbuka puasa dan shalat Maghrib di sini," tutup H. Syahlani.