Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Menelusuri Kisah di Balik Sebutan 'Belanda Depok'

Para budak kemudian diajari bahasa Belanda sebagai bahasa utama, dari situlah kemudian mereka disebut Belanda Depok.

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Menelusuri Kisah di Balik Sebutan 'Belanda Depok'
Tribunnews.com/Ilham Rian Pratama
Suasana di kantor Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein, Depok. TRIBUNNEWS.COM/ILHAM RIAN PRATAMA 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama

TRIBUNNEWS.COM, DEPOK - Suasana di kantor Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein, Depok tampak lengang.

Namun di halaman kantor, barisan mobil rapi berjejer.

Para jemaat Gereja Toraja Jemaat Depok yang merayakan Jumat Agung menitipkan kendaraannya di sini.

Lembaga pendidikan ini dikelola oleh para keturunan budak yang dimerdekakan oleh Cornelis Chastelein.

Tuan tanah asal Belanda yang memiliki tanah perkebunan di Depok.

Ketika ia meninggal pada 28 Juni 1714, tanah seluas lebih dari 1.244 hektar itu diwariskan para 12 orang budak--yang kemudian dimerdekakan--untuk dikelola bersama.

Berita Rekomendasi

Yang kemudian membuat Depok menjadi wilayah partikelir di masa kolonial Belanda yang dipimpin oleh seorang presiden.

Itulah sekelumit kisah yang dituturkan Ferdy Jonathans, Koordinator Bidang Aset Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein, Jumat (19/4/2019).

Baca: Mengapa Harus Mempercayai Hasil Pemilu?

Ferdy Jonathans melanjutkan, nama yang tersemat di akhiran mirip dengan nama Belanda ini membuatnya kehilangan identitas.

"Ya dengan marga berbau Belanda ini, kami agak kehilangan identitas," jelas Ferdy Jonathans.

"Saya ini Ferdy Jonathans saya nggak tahu berasal dari suku apa, tak ada informasi mengenai asal nama marga ini," sambungnya.

Ferdy Jonathans, Koordinator Bidang Aset Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein
Ferdy Jonathans, Koordinator Bidang Aset Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein, Jumat (19/4/2019). TRIBUNNEWS.COM/ILHAM RIAN PRATAMA

Ferdy Jonathans menyebutkan dalam surat wasiat yang ditulis Chastelein pada 13 Maret 1714, hanya ada satu marga, yaitu Soedira.

Sementara 11 marga lain, diyakini diberikan oleh tokoh agama Baprima Lucas.

"Mungkin diberikan dari alkitab, setelah Cornelis meninggal," ujar Ferdy Jonathans.

Selain Jonathans dan Soedira, marga-marga lain yaitu Bacas, Laurens, Leander, Loen, Isakh, Samuel, Jacob, Joseph, Tholense dan Zadokh.

Marga Zadokh telah hilang karena tak memiliki keturunan anak laki-laki.

Ferdy Jonathans mengatakan, para budak Chastelein ini berasal dari berbagai daerah di Indonesia seperti Nusa Tenggara, Bali serta Bangladesh dan Sri Lanka.

Baca: Prabowo Deklarasi Kemenangan, Sandiaga Diam, Hanya Sesekali Bertepuk Tangan dan Mengangkat Jari

"Itu jadi dia meng-Kristen-kan tapi juga mem-Belanda-kan, terbentuklah komunitas berbahasa Belanda, waktu itu ada undang-undang orang Jawa, Sunda dan Madura tidak boleh dijadikan budak," jelasnya.

Para budak yang berasal dari berbagai tempat ini kemudian diajari bahasa Belanda sebagai bahasa utama, dari situlah kemudian mereka disebut Belanda Depok.

"Sebutan Belanda Depok, sebenarnya dimulai dari anak-anak sebenarnya yang tinggal di daerah Bojong Gede dan yang naik kereta dari Bogor, 'ah elu mah Belanda Depok', ya setiap hari kan orang-orang di kereta kan banyak orang dari dengar tuh akhirnya bertahun-tahun dan melekat di otak," jelas Ferdy Jonathans sambil tertawa.

Ketika itu, anak-anak Depok yang berbahasa Belanda ini naik kereta ke Batavia untuk bersekolah.

Bagi Ferdy sebutan tersebut sudah tak lagi relevan.

"Ya kalau kami memilih untuk menyebut kaum Depok," katanya sembari tersenyum.

Ferdy Jonathansmengatakan, bahasa yang digunakan orang tua di Depok merupakan Belanda kuno yang digunakan pada abad 17.

Prasasti di Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein
Prasasti di Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein, Jumat (19/4/2019). TRIBUNNEWS.COM/ILHAM RIAN PRATAMA

"Mereka menggunakan bahasa Belanda yang berkembang di masa kolonial, jadi tidak mengikuti perkembangan bahasa di negara asalnya. Ya memang ada beberapa pengucapan yang berbeda, ada yang sudah tak dipakai di Belanda, masih digunakan di sini," katanya.

Saat ini, banyak keturunan 'Belanda Depok' tak bisa berbahasa Belanda dan tidak memahami sejarahnya, apalagi menjalani tradisi yang sama dengan leluhurnya.

"Ya mulai tahun kemarin saya tetapkan anak-anak yang sekolah di sekolah kami ini harus mengenal sejarah Depok, agar mereka tahu siapa Chastelein dan siapa kaum Depok, banyak kaum depok yang tak tahu mengenai sejarahnya," ujar Ferdy Jonathans.

Saat ini, menurut Ferdy Jonathans, keturunan warga Depok berjumlah lebih dari 3.000 orang dan tersebar di luar Depok.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas