Ini Perbedaan Transparansi Anggaran Era Gubernur Ahok dan Anies Baswedan
Perbedaan transparansi anggaran era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dengan Gubernur Anies Baswedan
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggaran pengadaan lem Aibon senilai Miliaran Rupiah dalam APBD DKI Jakarta menjadi perbincangan yang hangat, baik di dunia nyata maupun di linimasa media sosial.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan ada beberapa masalah dalam sistem e-bugdeting warisan pemerintahan sebelumnya.
Baca: Mantan Gubernur DKI Bang Yos: Aku Kaget Aja, Kok Lem Segitu Anggarannya
Sistem penganggaran milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pernah mendapat penghargaan sebagai salah satu inovasi perencanaan terbaik di Indonesia.
Pada April 2017, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memberikan predikat tersebut.
Inovasi perencanaan yang dimaksud adalah sistem penganggaran dengan e-budgeting, e-planning, e-musrenbang, dan e-komponen.
Sistem ini mulai diperkenalkan di DKI Jakarta ketika Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur.
Sistem tersebut akhirnya digunakan di Jakarta saat Basuki atau Ahok menjadi gubernur.
Adapun dengan e-budgeting ini, semua perencanaan penganggaran diinput secara digital ke dalam sistem.
Setiap perubahan angka yang terjadi akan terekam, lengkap dengan informasi identitas pengubahnya.
Siapa saja yang melakukan mark up anggaran pasti bisa diketahui orangnya.
Sistem e-budgeting di DKI Jakarta juga membuat perencanaan anggaran masuk ke detail komponennya sejak awal.
Detail yang dimaksud sering disebut dengan satuan ketiga.
Katakanlah ada sebuah program pelaksanaan festival musik tahun baru yang dimasukkan dalam sistem e-budgeting itu.
Anggaran untuk program itu tidak bisa hanya ditulis totalnya, misalnya Rp 100 juta, tetapi harus lengkap dengan komponen atau satuan ketiganya, seperti biaya panggung, lampu, dan pengisi acara.
Dengan begitu, anggaran sebuah program bisa diukur wajar atau tidaknya.
Baca: Ledakan kompor gas di gerbong picu kebakaran kereta di Pakistan yang tewaskan 74 orang
Pada 2017, jelang akhir masa jabatan Djarot Saiful Hidayat sebagai gubernur, Komisi Pemberantasan Korupsi menyampaikan apresiasinya terhadap sistem ini.
Pimpinan KPK yang datang ke Balai Kota saat itu, Basaria Pandjaitan, berharap sistem ini terus digunakan pada periode selanjutnya dalam kepemimpinan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Transparansi anggaran
Salah satu nilai plus sistem ini, masyarakat bisa melihat prosesnya melalui situs apbd.jakarta.go.id.
Lewat situs itu, perencanaan anggaran bisa dilihat oleh publik sejak tahap perencanaan.
Baca: Kekayaan Idham Azis Lebih dari Rp 5 Miliar, Berikut Rinciannya
Setiap tahun, berbagai anggaran aneh terungkap.
Sebut saja anggaran ratusan juta rupiah untuk revitalisasi kolam air mancur di Gedung DPRD DKI Jakarta yang masuk ke perencanaan anggaran 2 tahun berturut-turut, pada 2017 dan 2018.
Anggaran itu pun dicoret dua kali selama pembahasan karena derasnya protes warga.
Dan itu baru satu.
Beberapa program lain yang anggarannya tak wajar juga viral dan akhirnya dibatalkan.
Anggaran itu bisa diawasi karena Pemprov DKI Jakarta telah mengunggah rancangan anggaran yang bernama Kebijakan Umum Anggaran-Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) ke dalam situs APBD tersebut.
Untuk lebih memahami ini, ada baiknya mengetahui alur penganggaran secara umum.
KUA-PPAS berisi rancangan program hasil musrenbang di tingkat masing-masing kota dan kabupaten di Jakarta.
KUA-PPAS disusun oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah yang isinya berasal dari eksekutif atau dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta.
Pada 2016, 2017, dan 2018, draft KUA-PPAS yang berada dalam tahapan ini langsung diunggah di situs apbd.jakarta.go.id.
Setelah KUA-PPAS selesai disusun dan diserahkan ke DPRD DKI Jakarta, pembahasan pun dilakukan.
Rancangan anggaran yang disusun sebelumnya pun sangat mungkin berubah, mengikuti dinamika dalam rapat anggaran antara eksekutif dan legislatif itu.
Program yang anggarannya dinilai terlalu besar bisa dikurangi, sedangkan yang dinilai tak perlu juga bisa dicoret.
Setelah pembahasan KUA-PPAS selesai, dibuat semacam MoU antara Gubernur dan Ketua DPRD.
Kesimpulan pembahasan ini biasanya berupa berapa total APBD pada tahun berikutnya, nilai belanja, dan pendapatannya.
Dalam tahap ini, KUA-PPAS setelah pembahasan biasanya akan diunggah kembali ke situs apbd.jakarta.go.id.
Dengan begitu, masyarakat bisa membandingkan seperti apa rencana anggaran sebelum dan sesudah dibahas dengan DPRD.
Pembahasan anggaran akan dilanjutkan dengan pembahasan Rancangan APBD (RAPBD).
Draft RAPBD yang telah disahkan bersama DPRD DKI juga akan diunggah ke dalam situs.
Baca: Perluas Layanan, BMW Motorrad Buka Diler Baru di Jakarta Barat
Selanjutnya RAPBD yang sudah disahkan menjadi APBD itu akan dikirim ke Kementerian Dalam Negeri untuk dievaluasi.
Nantinya, hasil evaluasi akan diunggah kembali.
Tahun ini berbeda...
Sampai dengan tahun 2018, semua draft di setiap tahapan penganggaran itu masih rutin diunggah satu per satu ke dalam situs apbd.jakarta.go.id.
Situasinya mulai berbeda untuk anggaran tahun 2019.
Baca: Kekayaan Idham Azis Lebih dari Rp 5 Miliar, Berikut Rinciannya
Dalam situs yang diakses pada Rabu (30/10/2019) malam, draft yang diinput ke dalam situs adalah RKPD, KUA-PPAS hasil pembahasan bersama DPRD DKI, APBD, dan APBD Perubahan.
Tidak ada draft KUA-PPAS versi sebelum pembahasan DPRD DKI Jakarta.
Rancangan anggaran untuk tahun 2020 lebih parah lagi.
Tidak ada satu pun rencana anggaran untuk tahun 2020 yang diunggah ke dalam situs tersebut.
Padahal, saat ini Pemprov dan DPRD DKI Jakarta sedang melakukan pembahasan KUA-PPAS.
Perbedaan ini juga dibenarkan oleh Ketua Fraksi PDI-P DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono.
Adapun Gembong merupakan salah satu anggota Dewan yang mengikuti pembahasan anggaran para periode pemerintahan sebelumnya dan sekarang.
"Sekarang Pak Anies merasa karena belum ada pembahasan dengan DPRD, maka info itu tidak disampaikan ke publik," kata Gembong ketika dihubungi Kompas.com.
Ternyata, ini memang merupakan keinginan Anies Baswedan.
Anies Baswedan mengaku khawatir draft KUA-PPAS yang belum disepakati dengan DPRD DKI hanya akan menimbulkan kehebohan.
"Justru karena ada masalah-masalah seperti ini yang menimbulkan keramaian, padahal tidak akan dieksekusi," ujar Anies di Balai Kota, Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Anies Baswedan baru akan mengunggah draft tersebut setelah Pemprov DKI dan DPRD DKI menyelesaikan pembahasan anggaran.
Akhirnya, masyarakat hanya bisa mengetahui rencana anggaran yang tak wajar dari anggota DPRD DKI Jakarta.
Fraksi Partai Solidaritas Indonesia menjadi yang paling sering menyebarkannya.
Sebut saja anggaran lem Aibon sebesar Rp 82,8 miliar, bolpoin sebesar Rp 124 miliar, dan komputer sebesar Rp 121 miliar.
Sistem yang disalahkan Anies tidak ingin mengunggah rencana anggaran yang belum disahkan.
Itu artinya, masyarakat hanya akan mengetahui program apa saja yang akan dikerjakan Pemprov DKI Jakarta setelah pembahasan selesai.
Tak ada ruang untuk mengkritik dan memberi masukan.
Selain soal transparansi anggaran, Anies juga berbicara tentang sistem e-budgeting itu sendiri.
Menurut Anies Baswedan, sistem digital ini tidak smart karena masih mengandalkan penelusuran manual untuk pemeriksaannya.
Dia juga mengkritik soal rancangan yang terlalu detail sampai satuan ketiga.
Dia memberi contoh program pentas musik dengan nilai anggaran Rp 100 juta.
Dalam sistem e-budgeting, anggaran tersebut harus diturunkan dalam bentuk komponen.
Menurut dia, rancangan anggarannya tidak perlu detail sampai pada satuan ketiga terlebih dahulu karena itu yang akan dibahas bersama DPRD DKI.
"Sehingga setiap tahun staf itu banyak yang memasukkan yang penting masuk angka Rp 100 juta dulu. Toh nanti yang penting dibahas," ujar Anies.
Dengan kata lain, KUA-PPAS diserahkan ke DPRD DKI secara gelondongan.
"Itu dokumen ada harus dicek manual, apakah panggung, mic, terlalu detail di level itu, ada beberapa yang mengerjakan dengan teledor (karena) toh diverifikasi dan dibahas," ujar Anies.
"Cara-cara seperti ini berlangsung setiap tahun. Setiap tahun muncul angka aneh-aneh," kata dia.
Anies Baswedan pun memberi sinyal tidak akan terus menggunakan sistem ini.
Dia ingin memakai sistem yang bisa memberi notifikasi langsung ketika ada anggaran yang tak wajar.
"Ini tinggal dibuat algoritma saja, if item-nya itu jenisnya Aibon, harganya Rp 82 miliar (padahal) sebenarnya harganya kan enggak semahal itu. Harganya Rp 20.000 atau Rp 30.000, terus totalnya mencapai puluhan miliar, pasti ada salah. Harusnya ditolak itu sama sistem," kata Anies Baswedan.
Bagaimana pantau uang rakyat? KUA-PPAS berisi rencana Pemprov DKI dalam menggunakan uang rakyat Jakarta.
Dengan demikian, Ketua Fraksi PDI-P DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono mengatakan sejatinya ini merupakan informasi publik.
Apalagi program yang diinput ke dalam sistem ini adalah hasil dari aspirasi masyarakat dalam musrenbang (musyawarah rencana pembangunan).
Adapun musrenbang merupakan forum bagi masyarakat menyampaikan usulan program kepada pemerintah.
Usulan tersebut disesuaikan dengan permasalahan yang ada di wilayah setempat, misalnya meminta perbaikan jalan, pembangunan jembatan, sekolah, dan lainnya.
Beberapa usulan nantinya akan masuk ke rencana anggaran Pemprov DKI dan dikerjakan pada tahun berikutnya.
Musrenbang digelar di tiap kota dan kabupaten.
"Maka, seharusnya itu dipublikasikan sejak perencanaan karena prosesnya ini dimulai dari musrenbang. Masyarakat harus tahu apakah aspirasinya saat musrenbang masuk atau tidak ke rancangan anggaran," kata dia.
Tanpa publikasi lewat situs apbd.jakarta.go.id, masyarakat tidak bisa ikut memelototi.
Tinggal terima jadi ketika perencanaan uang rakyat itu sudah disahkan.
Ketika sudah disahkan, program dalam APBD bisa dikerjakan, termasuk yang anggarannya tidak wajar.
Baca: Menengok Kembali Prestasi Kapolri Baru Idham Azis, dari Bom Bali hingga Kasus Novel Baswedan
Kini harapannya tinggal ada di anggota Dewan, wakil rakyat yang memiliki akses untuk melihat penyusunan anggarannya.
Mampukah benar-benar mengawasi uang rakyat Jakarta?
Penulis: Jessi Carina
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: Beda Transparansi Anggaran Era Ahok dan Anies: Awalnya Bebas Diakses, Kini Harus Tunggu Sah Dulu