Polri Harus Transparan dan Akuntabel Usut Peristiwa Penembakan 6 Anggota FPI
Koalisi Masyarakat Sipil meminta penyelidikan yang serius, transparan dan akuntabel terhadap penembakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan menilai bahwa peristiwa penembakan 6 anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) harus diusut dan diproses hukum agar publik mengetahui fakta yang sebenarnya.
Perwakilan koalisi, Wakil Koordinator KontraS Feri Kusuma menjelaskan, konstitusi RI menjamin setiap orang yang melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia harus diajukan ke pengadilan dan dihukum melalui proses yang adil dan transparan.
"Koalisi Masyarakat Sipil meminta penyelidikan yang serius, transparan dan akuntabel terhadap penembakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang menyebabkan 6 orang meninggal dunia," kata Feri lewat keterangan tertulis, Rabu (9/12/2020).
Selain itu, kata Feri, koalisi turut mendesak pemerintah untuk membentuk tim independen melibatkan Komnas HAM guna menyelidiki dengan serius tindakan penembakan dari aparat kepolisian dalam peristiwa tersebut, serta membuka hasil fakta-fakta yang ditemukan dari proses penyelidikan tersebut.
Baca juga: FPI Siap Dilibatkan Langsung Penyelidikan Komnas HAM soal Tewasnya 6 Pengawal HRS
"Setiap tindakan yang diambil oleh aparat kepolisian haruslah sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku serta dapat dipertanggungjawabkan," ujarnya.
Tak hanya itu, koalisi juga mendesak agar Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan perlindungan terhadap saksi, yang keterangannya sangat diperlukan untuk membuat terang perkara ini.
Sebagaimana diketahui, baik Polri maupun FPI menyampaikan fakta berbeda terkait peristiwa pada Senin, 7 Desember 2020 dini hari di Tol Cikampek, Karawang yang berujung kematian 6 anggota FPI yang sedang mengawal Habib Rizieq Shihab.
Polisi mengklaim para laskar FPI itu ditembak karena menyerang petugas yang menguntit mereka. FPI membantah anggotanya membawa senjata dan menyerang lebih dulu. Mereka justru menuding polisi yang memprovokasi lebih dulu.
Kata Feri, jika memang terdapat dugaan memiliki senjata api dan tidak memiliki izin, tentunya hal tersebut merupakan pelanggaran hukum dan harus diusut tuntas pula.
Begitu juga dengan penggunaan dengan senjata api oleh kepolisian, lanjut Feri, seharusnya hanya merupakan upaya terakhir yang sifatnya untuk melumpuhkan dan hanya dapat dilakukan oleh anggota Polri ketika ia tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan.
"Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia," jelas Feri.
Feri berujar, koalisi tidak menampik bahwa anggota kepolisian juga harus dilindungi dalam kondisi yang membahayakan nyawanya. Adapun upaya penembakan yang ditujukan untuk melumpuhkan pelaku kejahatan memang diperbolehkan dalam keadaan tertentu.
Perkap 1/2009 secara tegas dan rinci telah menjabarkan dalam situasi seperti apa upaya penembakan dapat dilakukan dan prinsip-prinsip dasar apa saja yang harus selalu dipegang teguh oleh aparat kepolisian dalam melakukan upaya penembakan tersebut.
"Sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Perkap 1/2009, sebelum memutuskan untuk melakukan penembakan dengan senjata api, aparat wajib mengupayakan terlebih dahulu tindakan seperti perintah lisan, penggunaan senjata tumpul, senjata kimia seperti gas air mata atau semprotan cabe," ujar Feri.