Jakarta Dikepung Kabut Asap, BHS: Jangan Salahkan Industri dan Transportasi, KLHK yang Tanggungjawab
Buruknya kualitas udara di Jakarta dan di sejumlah kota besar Indonesia di saat musim kemarau karena adanya kasus kebakaran hutan.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politisi Partai Gerindra Bambang Haryo Soekartono meminta Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bertanggung jawab atas kabut asap yang menyebabkan kualitas udara di Jakarta berdasarkan indeks Kualitas Udara (IQA) berada di angka 174 atau tidak sehat.
Dikatakan anggota DPR-RI terpilih periode 2024-2029 ini, buruknya kualitas udara di Jakarta dan di sejumlah kota besar Indonesia di saat musim kemarau karena adanya kasus kebakaran hutan.
Bambang yang akrab disapa BHS ini menghimbau pemerintah pusat dan daerah untuk segera mengambil langkah cepat dalam mengatasi masalah ini tanpa menyalahkan sektor industri dan transportasi.
“Karhutla ini dampaknya tidak kecil. Dampaknya bukan hanya pada area yang terbakar dan makhluk hidup yang berhabitat di area tersebut tapi juga pada makhluk hidup dan lingkungan di wilayah sekitar, hingga wilayah yang jauh dari area karhutla,” kata BHS, Selasa (25/6/2024).
Baca juga: Komisi III Desak Polisi All Out Tangkap Pembakar Hutan: Agar Kabut Asap Tak Jadi Agenda Tahunan
Yang dimaksud dampak pada wilayah yang jauh adalah asap yang muncul dari kebakaran hutan atau lahan tersebut, yang biasanya berlangsung cukup lama bahkan bisa lebih dari tiga bulan.
“Asap karhutla itu kan bisa kemana-mana karena terbawa angin. Contohnya, kalau Sumatera mengalami kebakaran hutan, asapnya bisa ke Jakarta dan kota-kota pesisir Jawa bahkan sampai ke negara tetangga. Jadi kalau kualitas udara Jakarta itu buruk, tidak bisa sepenuhnya menyalahkan faktor transportasi atau kendaraan dan industri karena polusi asap yang tebal di wilayah Jakarta dan sekitarnya hanya dialami pada saat musim kemarau saja, biasanya mulai bulan Mei, Juni, Juli hingga September," ujarnya.
"Dan setelah Oktober di musim hujan, kualitas udara di Jakarta dan kota-kota pesisir yang ada di Jawa menjadi membaik. Itu semua juga karena hembusan arah angin yang mengakibatkan asap kebakaran hutan memenuhi kota Jakarta,” kata BHS menambahkan.
BHS menyatakan sudah pernah menyampaikan kepada pemerintah untuk lebih aktif dalam menyikapi masalah karhutla ini yang bisa membawa dampak asap di wilayah Jakarta.
“Dan kementerian KLHK yang paling bertanggung jawab masalah ini, harusnya bukan hanya dengan menyiapkan tim pemadam karhutla atau sosialisasi agar pembuka lahan tidak melakukan pembakaran untuk pembersihan lahan, tapi juga dengan melakukan pembasahan lahan, dengan cara menyiram hutan atau lahan yang memiliki potensi hot spot,” ujarnya lagi.
Ia memaparkan bahwa penyiraman lahan atau hutan ini, juga telah dilakukan oleh negara tetangga, Malaysia, Papua Nugini, bahkan Timor Timur. Dan terbukti, tidak ada satupun hot spot yang ada di ketiga negara tersebut pada saat Indonesia mengalami kebakaran hutan parah tahun 2015, 2021, 2022 dan 2023.
“Para pejabat di negara tersebut memahami, bahwa ada langkah aktif yang harus dilakukan dalam mencegah terjadinya kebakaran hutan. Dengan basahnya lahan atau hutan, maka jika ada yang tidak sengaja meninggalkan bara di area tersebut, tidak akan mudah terbakar. Karena daun yang basah itu atau mengandung air 80 persen, tidak mudah terbakar. Daya tahan air di tanaman ini sekitar 21 hari, sehingga jika dilakukan penyiraman dalam periode 2 minggu sekali, maka tanaman itu akan tetap basah dan sulit untuk terbakar,” kata BHS.
Politisi Gerindra ini menginformasikan bahwa KLHK tercatat memiliki sekitar 20 pesawat pembawa air, tapi kurang aktif melakukan penyemprotan air dan bahkan ia menyatakan pernah menanyakan kepada Menteri KLHK, dan mendapatkan jawaban bahwa KLHK kesulitan mendapatkan izin terbang dari Kementerian Perhubungan.
“Ini sangat disayangkan. Karena dengan anggaran Rp8 triliun, seharusnya bisa mencegah karhutla. Anggaran itu jauh lebih rendah, jika dibandingkan paska karhutla yang berdampak pada kegiatan ekonomi misalnya industri, perdagangan, pariwisata, transportasi, kesehatan masyarakat, akibat kebakaran hutan yang tentunya nilai kerugian akibat kurangnya perhatian kementerian KLHK akan jauh lebih besar yang dialami oleh negara dan masyarakat,” imbuhnya.
Oleh karena itu, ia sangat berharap pemerintah, melalui berbagai stakeholder, khususnya Kementerian KLHK baik di pusat maupun dinas KLHK di daerah, mulai saat ini melakukan penyiraman.
“Kalau kita lihat di data BMKG, hot spot kebakaran hutan di wilayah Jawa, Sumatera, Kalimatan, NTB dan NTT kebakaran hutannya semakin meningkat. Sudah waktunya kita bergerak dibantu oleh semua stakeholder, BNPB, BPBD, BMKG, TNI termasuk Perhutani semuanya bekerja keras untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan tersebut,” kata BHS lagi.
Ia mengharapkan adanya langkah pro aktif pemerintah untuk mencegah terjadinya kebakaran di hutan maupun lahan.
“Kita jangan bergantung pada datangnya hujan untuk mencegah kebakaran hutan, tapi pro aktif melakukan pencegahan agar tidak terlanjur terjadi kebakaran hutan. Seperti yang pernah terjadi di tahun 2015 hingga 22 ribu titik kebakaran, termasuk hutan-hutan yang ada di Perhutani,” tutup BHS.