Kawasan Pecenongan Glodok, Oase Budaya Menyimpan Cerita Keberagaman dan Harmoni
Kawasan ini tidak hanya menjadi saksi sejarah percampuran berbagai budaya, tetapi juga mencerminkan kekayaan tradisi.
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com Eko Sutriyanto
TRIBUNNWS.COM, JAKARTA - Di tengah hiruk-pikuk Jakarta, kawasan Pecenongan, Glodok, berdiri sebagai oase budaya yang menyimpan cerita panjang tentang keberagaman dan harmoni.
Kawasan ini tidak hanya menjadi saksi sejarah percampuran berbagai budaya, tetapi juga mencerminkan kekayaan tradisi yang terus hidup di tengah modernitas.
Melalui perjalanan ini, mahasiswa Universitas Mercu Buana belajar langsung tentang komunikasi antarbudaya, mengunjungi tempat-tempat yang menjadi simbol akulturasi dan toleransi pada Senin, 18 November 2024.
Perjalanan tersebut merupakan bagian dari pembelajaran mata kuliah Komunikasi Antarbudaya.
"Kawasan ini merupakan saksi hidup sejarah keberagaman budaya, menjadi pusat interaksi komunitas sejak zaman kolonial dan mahasiswa tidak hanya belajar tentang sejarah, tetapi juga memahami harmoni budaya yang telah terjalin selama berabad-abad," kata Dr Rosmawaty Hilderiah P S.Sos., M.T., dosen pengampu mata kuliah Komunikasi Antarbudaya kepada wartawan, Kamis (21/11/2024).
Dikatakannya, kawasan Pecenongan Glodok adalah contoh nyata bagaimana keberagaman dapat menciptakan harmoni.
"Kami ingin mahasiswa tidak hanya mempelajari teori komunikasi antarbudaya, tetapi juga mengalami langsung bagaimana budaya berbeda bisa saling melengkapi," ujarnya.
Dikatakannya, penelusuran ke Kawasan Pecinan, Glodok akan membantuk kesadaran baru mahasiswa bahwa sejarah dan budaya bukan sekadar cerita masa lalu tetapi juga pedoman untuk membangun masa depan yang inklusif dan harmonis.
"Kawasan Pecenongan Glodok adalah bukti nyata bahwa di tengah perbedaan, kita bisa menemukan harmoni yang memperkaya kehidupan bersama," katanya.
Rosmawaty mengatakan, Gedung Candranaya menjadi sebuah bangunan megah bergaya arsitektur Tionghoa yang berdiri sejak tahun 1807.
Gedung ini dulunya menjadi kediaman Kapitan Cina, Khouw Kim An, seorang tokoh berpengaruh pada masanya.
"Kini, Candranaya menjadi simbol pelestarian budaya sekaligus saksi bisu perjalanan panjang komunitas Tionghoa di Jakarta. Di dalamnya, kami dapat merasakan bagaimana masa lalu tetap terjaga melalui detail ornamen dan tata ruang yang autentik," katanya.
Kemudian Vihara Dharma Bhakti atau Kim Tek Ie, yang merupakan vihara tertua di Jakarta.