Ketua MPR RI Dorong Percepatan Reformasi Agraria
Secara hierarki, kedudukan Ketetapan MPR berada di bawah Undang-Undang Dasar dan di atas Undang-Undang.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengingatkan bahwa Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam masih tetap berlaku sebagai salah satu rujukan dalam mengatasi konflik agraria dan perlindungan tanah adat. Secara hierarki, kedudukan Ketetapan MPR berada di bawah Undang-Undang Dasar dan di atas Undang-Undang. Artinya, tidak boleh ada satu pun amanat mengenai pembaruan agraria dalam Ketetapan MPR tersebut yang tidak ditindaklanjuti.
"Hal ini dimaknai bahwa segala ketentuan Undang-Undang mengenai pembaruan agraria harus tunduk pada Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001. Tidak boleh ada satupun pasal atau substansi Undang-Undang yang bertentangan dengan muatan materi yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR tersebut," ujar Bamsoet dalam diskusi 'Konflik Agraria dan Perlindungan Tanah Adat Ditinjau dari UU Ciptakerja', secara virtual di Jakarta, Kamis (8/4/21).
Turut hadir antara lain Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan A. Djalil, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (DPP HKTI) Jenderal TNI (Purn.) Moeldoko, dan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Komjen Pol Agus Andrianto.
Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, secara substansi, Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 telah memotret berbagai persoalan yang menjadi isu utama dalam bidang pengelolaan agraria. Secara tegas juga menugaskan DPR bersama Presiden untuk segera menindaklanjuti pelaksanaan pembaruan agraria, menjadikan Ketetapan MPR tersebut sebagai landasan kebijakan, serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti undang-undang dan peraturan pelaksanaan yang tidak sejalan dengan Ketetapan MPR tersebut.
"Sedangkan terkait hak adat, Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 juga mengamanatkan adanya pengakuan dan penghormatan terhadap hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria. Dilandasi kesadaran bahwa hak ulayat telah ada dan melekat dalam kehidupan masyarakat, bahkan sebelum Indonesia merdeka," jelas Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menerangkan, amanat Ketetapan MPR tersebut juga selaras dengan ketentuan Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada prinsipnya menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Meskipun Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/Tahun 2001 dinyatakan tetap berlaku, namun hingga tahun 2019 tindak lanjut terhadap amanat pembaruan agraria belum dapat direalisasikan. Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang sempat disusun pada tahun 2019, pada akhirnya gagal disahkan menjadi Undang-Undang. Kita mendorong agar DPR RI bersama pemerintah bisa menyelesaikan RUU Pertanahan dengan mengutamakan kepentingan rakyat," terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini menilai, lambatnya realisasi amanat Ketetapan MPR tersebut cukup ironis. Mengingat isu pembaruan agraria adalah salah satu persoalan krusial. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang tahun 2020 telah terjadi 241 kasus konflik agraria dengan korban terdampaknya sebanyak 135.332 kepala keluarga. Termasuk korban kekerasan sebanyak 169 orang (19 korban dianiaya, 139 korban kriminalisasi
dan 11 korban tewas).
"Jika dihitung pada periode 2015 hingga 2020, jumlah konflik agraria di tanah air mencapai angka 2.288 kasus, dengan catatan jumlah korban dianiaya sebanyak 776 orang, 1.437 korban kriminalisasi, dan 66 korban tewas. Ini tentunya menjadi catatan penting sekaligus keprihatinan kita bersama, bahwa di sebuah negara demokrasi yang mempunyai Pancasila, dengan luas wilayah daratan 1,9 juta kilometer persegi, masih banyak terjadi konflik agraria," tandas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menambahkan, secara umum dapat dipetakan beberapa faktor yang dapat memicu lahirnya konflik pertanahan. Antara lain adanya aturan yang masih tumpang tindih, penyelesaian birokrasi yang masih berbelit-belit, serta masih adanya dua kesenjangan yang mencolok.
"Terutama karena kesenjangan dan ketimpangan dalam penguasaan tanah. Di satu sisi sebagian kecil masyarakat menguasai ribuan atau bahkan jutaan hektar tanah, tetapi di sisi lain jutaan petani hanya memiliki rata-rata 0,3 hektar saja, dan bahkan lebih banyak lagi petani yang tidak memiliki tanah sama sekali, dan hanya menjadi petani buruh," pungkas Bamsoet.