RUU Kamnas Bertentangan dengan UU TNI
Rencana pemerintah membentuk RUU Kamnas, banyak menimbulkan tanda tanya tentang maksud dan tujuannya.
Penulis: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana pemerintah membentuk Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas), banyak menimbulkan tanda tanya tentang maksud dan tujuannya.
Menurut Direktur Program Imparsial Al Araf yang juga tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan, draf RUU Kamnas yang telah diberikan pemerintah ke DPR ternyata bertentangan dengan UU 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Al Araf menjelaskan, hal tersebut terlihat dari pasal 30 RUU Kamnas, yang diberikan kewenangan oleh presiden, untuk mengerahkan TNI dalam status tertib sipil, tanpa melalui pertimbangan parlemen dalam menghadapi ancaman bersenjata.
"Padahal, UU TNI pasal 7 ayat 3 junto penjelasan pasal 5 menegaskan, pengerahan kekuatan TNI harus didasarkan kepada keputusan politik negara. Artinya, harus mendapatkan pertimbangan dari parlemen. Dengan demikian RUU Kamnas jelas bertentangan dengan UU TNI," jelas Araf dalam konferensi pers di Kantor Imparsial, Jalan Slamet Riyadi No 19, Jakarta Timur, Kamis (1/11/2012).
Araf menuturkan, pemerintah yang beralasan ingin memperkuat dan memperbaiki tata kelola sektor keamanan, dengan RUU Kamnas justru menimbulkan kerumitan baru dalam tata kelola sektor keamanan, dengan diaturnya status tertib sipil sebagai status keamanan nasional yang dibarengi dengan kewenangan presiden untuk mengerahkan TNI di dalamnya.
"Lebih dari itu, kerumitan tata kelola sektor keamanan semakin terlihat dalam pasal 20 dan pasal 28 dalam RUU Kamnas, mengatur bahwa kepolisian daerah tidak dimasukkan dalam unsur keamanan nasional di provinsi, tapi justru memasukkan BIN dan TNI sebagai salah satu unsur keamanan nasional di provinsi," paparnya.
Araf menjelaskan, draf RUU Kamnas terbaru menjadikan 'ideologi' sebagai ancaman, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat 2 RUU.
"Menjadikan ideologi sebagai aspek dalam ancaman keamanan nasional bukan hanya keliru, tapi sangat mengganggu kehidupan politik dan demokrasi kita," ucapnya. (*)