Anggota DPR Ikut Tertawakan Ucapan Daming Harus Minta Maaf
sama-sama menikmati - didesak untuk segera minta maaf kepada publik.
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA--Anggota Komisi III DPR RI (bidang hukum) yang ikut tertawa saat calon Hakim Agung Daming Sanusi melontarkan candaan - pemerkosa tidak perlu dihukum mati karena si pemerkosa dan yang diperkosa sama-sama menikmati - didesak untuk segera minta maaf kepada publik.
Kejadian yang berbuntut kecaman itu terjadi saat berlangsung fit and proper test calon Hakim Agung.
Desakan agar anggota Komisi III DPRD minta maaf, disampaikan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait.
Pernyataan Daming, yang ditanggapi dengan tertawa oleh sebagian anggota Komisi III DPR, kata Arist, telah mementahkan seluruh perjuangan korban, keluarga korban, aktivis dan lembaga-lembaga yang peduli terhadap perlindungan dan perempuan dan anak.
"Apa yang kami perjuangkan selama ini untuk menuntut agar pelaku kejahatan seksual dihukum berat malah dimentahkan dengan sikap Daming. Dan sikap DPR yang tidak protes malah justru tertawa dengan pernyataan, telah membuat seakan perjuangan kami ini sia-sia," papar Arist.
Arist mengatakan, pernyataan Daming dan sikap Komisi III DPR ini kontradiktif dengan realitas yang ada saat ini.
Menurut Arist tahun 2013 merupakan tahun darurat kekerasan seksual anak. Pasalnya, baru memasuki hari ke-15, pihaknya telah menerima 32 laporan kekerasan seksual yang dialami anak.
"Seluruh laporan ini merupakan laporan kekerasan seksual. Ini baru yang dilaporkan kepada lembaga kami saja. Itu artinya rata-rata terjadi dua kekerasan seksual pada anak dalam satu hari. Tidak berlebihan kalau saya bilang tahun ini adalah tahun darurat kekerasan seksual pada anak," kata Arist.
Diungkapkan Arist, laporan terakhir yang diterima Komnas PA adalah kasus kekerasan seksual yang menimpa seorang bocah berinisial EF di Tangerang Selatan. Korban yang baru berusia dua tahun ini mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang tetangganya yang sudah berusia lebih dari 20 tahun.
Dikatakan, salah satu kasus yang menonjol adalah kasus dugaan kekerasan seksual yang menimpa Rs (11), bocah kelas V SD yang meninggal dunia dengan infeksi di otak, dan perlukaan parah di sekitar kelaminnya. Hingga kini, kasus yang menimpa Rs tersebut belum diungkap Polri.
Arist mengatakan berdasar pada analisis yang dilakukan Komnas PA, 62 persen dari 2.637 kasus kekerasan terhadap anak merupakan kekerasan seksual. Dari jumlah itu, 82 persen terjadi di lingkungan keluarga dengan status ekonomi menengah ke bawah.
"Kenapa ini bisa terjadi? Karena adanya degradasi terhadap nilai baik sosial maupun spiritual," kata Arist.
Faktor lainnya, Arist melanjutkan, adalah status ekonomi, berbanding dengan teknologi yang begitu cepat dan tidak bisa disaring oleh masyarakat.
"Karena nilai sosial dan spiritualnya mengalami degradasi, mereka dipengaruhi teknologi yang salah satunya menawarkan pornografi, sesampainya di rumah tidak ada sekat antara ayah, anak perempuan, dan anak laki-laki," kata Arist.