Permintaan Demokrat Soal Dispensasi Caleg ke KPU Tindakan Gegabah
Permintaan Partai Demokrat yang disampaikan melalui Menteri Hukum dan Ham (Menkumham) Amir Syamsudin
Penulis: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Permintaan Partai Demokrat yang disampaikan melalui Menteri Hukum dan Ham (Menkumham) Amir Syamsudin agar Komisi Pemilihan Umum(KPU)memberikan dispensasi terkait dengan tata cara pencalonan anggota DPR yang harus ditandatangani ketua umum dan sekretaris jenderal atau (pasal ) merupakan permintaan yang gegabah.
Permintaan ini mengganggu upaya penegakan hukum, pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil, dan taat asas. Pengamat Politik Ray Rangkuti mengatakan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 ataupun dalam UU lain yang terkait dengan pelaksanaan pemilu tidak mengenal istilah dispensasi.
"Semua ketentuan yang telah ditetapkan baik dalam UU Pemilu, Parpol ataupun peraturan KPU sama sekali tidak memungkinkan dibukanya pintu dispensasi tersebut. UU Pemilu atau parpol hanya mengenal ruang bagi ketidakpuasaan, atau perasaan tidak dilayani secara adil oleh penyelenggara pemilu melalui jalur hukum seperti melaporkan pelanggaran pemilu ke Bawaslu atau DKPP, sengketa tahapan pemilu ke Bawaslu atau ke PTUN atau menggugat hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Partai Demokrat sedang tidak mengalami tiga hal tersebut" kata Ray dalam siaran pers yang diterima Tribunnews, Minggu(3/3/2013).
Faktor ketidaksiapan karena adanya perubahan struktur kepengurusan misalnya tidak dapat dikategorikan sebagai sengketa atau lainnya yang memungkinkan diikecualikanya Partai Demokrat dari aturan umum. Dengan begitu, jelas tak ada pintu dispensasi dalam UU Pemilu atau parpol.
"Permintaan dispensasi ini jelas akan mengundang perasaan tidak adil. Khususnya kepada parpol-parpol yang tidak dilolsokan KPU sebagai peserta pemilu. Dan lebih khusus kepada PKPI yang sudah mendapat keputusan Bawaslu diloloskan sebagai peserta pemilu tetapi tidak dilaksanakan oleh KPU. Bahkan putusan DKPP tak memberi dispensasi apapun kepada parpol yang karena kelalaian KPU menanggung akibat memiliki waktu pendek untuk konsolidasi verifikasi faktual. Jika ada dispensasi dalam pemilu, mestinya parpol-parpol ini tepat mendapat dispensasi," ujar Ray.
Lebih jauh Ray menjelaskan alasan bahwa partai Demokrat mengalami suatu kejadian tak terduga tidak dapat diterima sepenuhnya. Sebab, jika dilihat dari aspek waktu, cukup banyak waktu yang tersedia bagi Partai Demokrat untuk segera melaksanakan Kongres Luar Biasa(KLB) guna menetapkan Ketua Umum baru.
"Tentu saja cara ini bisa ditempuh jika pejabat pelaksana partai fokus untuk segera menggelar KLB. Hanya saja, karena pelaksana kegiatan dan kebijakan Partai saat ini diserahkan sepenuhnya kepada Majlis Tinggi yang anggota-anggotanya merupakan presiden dan menteri aktif, maka pelaksanaan KLB nampaknya butuh waktu. Hal ini merupakan kerugian tersendiri bagi Demokrat," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, tahapan pendaftaran anggota DPR dimulai sejak tanggal 9 hingga 15 April 2013. Sementara berhentinya Anas Urbaningrum dari jabatan ketua umum Partai Demokrat dihitung sejak 23 Februari yang lalu. Artinya tersedia waktu satu setengah bulan untuk memastikan adanya Ketua Umum baru Partai Demokrat.
Menurut Ray, sekarang saja, presiden yang sekaligus ketua majlis tinggi Demokrat sedang berkunjung ke Jerman. Jabatan rangkap SBY sebagai Presiden dan sekaligus ketua Majelis Tinggi Partai, memang tidak ideal. Langkah itulah yang ditempuh oleh SBY. Dan kini, Demokrat meminta dispensasi.
Direktur Eksekutif LIMA ini menambahkan jika menilik kepada UU No 8/2012 tentang Pemilu, pasal 57 ayat (1)a dinyatakan bahwa penyerahan daftar bakal calon anggota DPR ke KPU harus ditandatangani oleh Ketua Umum atau sebutan lain dan sekretaris jenderal atau sebutan lain dengan sangat jelas menepiskan adanya kemungkinan dispensasi tersebut.
Ketua Umum atau Sekretaris Jenderal dalam hal ini jelas merujuk kepada jabatan. Sementara dalam AD/ART Partai Demokrat pasal 12 ayat (1) dan (2) menyebut istilah Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal. Ketua Umum bersama dengan sekretaris jenderal disebut sebagai pengurus harian terbatas. Dua jabatan ini ditambah jabatan lain disebut sebagai Dewan Pimpinan Pusat (pasal 16). Sekalipun begitu, Dewan Pimpinan Pusat bukanlah jabatan kolektif kolegial. Merujuk pada pasal 12 AD/ART dengan jelas dinyatakan ketua umum dan sekjen adalah jabatan individual.
Hal ini diperkuat pula dalam pasal 17 ayat (1) dan (2) yang menyebut bahwa Ketua Umum bertugas melaksanakan, mengawasi, dan mengendalikan semua kegiatan partai, baik ke dalam maupun ke luar. Artinya, jabatan ketua umum atau sekjen tidak dapat diwakilkan misalnya kepada Majelis Tinggi atau kepada Pimpinan Kolektif. Lagi pula jika ada perubahan AD/ART yang menyatakan bahwa kegiatan partai dapat dilaksanakan oleh kepemimpinan kolektif, semestinya harus terlebih dahulu didaftarkan kepada kementerian paling lama 30 hari sejak terjadinya pergantian tersebut (pasal 5 ayat (3) UU No 2 Tahun 2011).
Begitu juga lanjut Ray dengan adanya pergantian susunan kepengurusan harus terlebih dahulu didaftarkan ke Kementerain paling lama 30 hari sejak terbentuknys kepengurusan baru (pasal 23 ayat (2) UU No 2 Tahun 2011). Maka jika ada permintaan dispensasi, kemungkinan dapat dipahami dan dapat ditoleransi jika perubahan AD/ART atau susunan kepengurusan sudah dilaksanakan dan didaftarkan tapi sedang menunggu proses di Kementerian.
"Persoalannya, jangankan didaftarkan, pergantian AD/ART atau Kepengurusan secara demokratis saja belum dilaksanakan. Artinya, permintaan dispensasi tersebut terlalu jauh untuk diperhatikan.," kata Ray.
Ray pun menyayangkan pernyataan permintaan dispensasi itu justru diungkapkan oleh menkumham. Sikap ini seperti mengajarkan dua hal bahwa peraturan dan ketentuan yang berlaku di Indonesia dapat dinegosiasikan. Agar tak kentara disebutkan dengan istilah dispensasi. Yang terlihat bukan semangat untuk menegakan aturan tetapi semangat untuk menegosiasikannya.
Kemudian, mengingat yang meminta dispensasi tersebut adalah seorang menteri hukum, maka kesan yang muncul adalah adanya upaya untuk mengintervensi penyelenggara pemilu. Kekuasaan seolah boleh melakukan intervensi terhadapt lembaga negara lain jika sedang berada dalam kesulitan yang bersifat internal.
"Oleh karena itu, pernyataan Menkumham tersebut amat disayangkan. Jelas ini bukan tindakan terpuji dan mendidik. Sebaliknya, seperti mengajarkan masyarakat Indonesia untuk tidak patuh pada hukum. Ironis," katanya.