Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Mengapa Pembunuh Kok Disebut Ksatria?

Jorhans Kadja mengaku bingung dan tidak paham dengan penilaian beberapa pihak terutama dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

Penulis: Hasanudin Aco
zoom-in Mengapa Pembunuh Kok Disebut Ksatria?
Tribunnews/Hasanuddin Aco
Yanny Rohi Riwu (ketiga kiri), kakak salah satu korban pembunuhan di Lapas Cebongan Gamaliel Yemitarto Rohi Riwu, mendampingi Wamenkumham Denny Indrayana (tengah) jumpa pers di kantor Kemenkumham, Jakarta, Rabu (10/4/2013). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jorhans Kadja mengaku bingung dan tidak paham dengan penilaian beberapa pihak terutama dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menyebut 11 prajurit Kopassus TNI-AD sebagai kesatria dan bertanggungjawab.

"Kami tidak mengerti mengapa ada label kesatria seperti itu. Kalau dikatakan mereka patriot dari segi mana. Jujur kami bingung dengan penilaian itu,"kata Jorhans ketika ditemui Tribunnews.com di gedung DPR RI Jakarta, Kamis (11/4/2013), sore, usai mengadu kepada Komisi III DPR RI.

Jorhans Kadja adalah adik Hendrik Angel Sahetapi satu dari empat narapidana Lapas Cebongan yang meninggal ditembaki oleh anggota Kopassus. Tiga lainnya yang meninggal adalah Yohanes Juan Manbait, Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu, dan Adrianus Candra Galaja.
Ke-11 oknum Kopassus ini berdasarkan Tim Investigasi bentukan TNI-AD disebut sebagai pelaku penembakan terhadap empat tahanan Lapas Cebongan Sleman Jogjakarta 23 Maret 2013 lalu.

Menurut Jorhans agak aneh juga jika dikatakan pembunuh kakaknya di Lapas itu disebut sebagai kesatria.

"Yang mereka bantai bukan adik saya tetapi yang dibantai adalah negara karena yang mereka serbu (Lapas) adalah rumah negara," kata dia.

Atas kejadian yang menimpa adiknya itu, Jorhans mengatakan keluarganya harus ikhlas menerima keadaan ini.

"Kalau kami diijinkan memutar waktu ini maka ijinkan kami untuk meminta maaf atas apa yang terjadi dan masalah seperti ini jangan terulang lagi," katanya.

Berita Rekomendasi

Yang tidak mereka terima adalah label premanisme yang diberikan kepada adiknya itu.

"Kami ke DPR ini untuk mengklarifikasi soal cap premanisme dan labelisasi itu. Kami juga meminta Komisi III agar membentuk Tim Independen dalam kasus ini supaya persoalan ini menjadi jelas kepada masyarakat dan independen,"kata Jorhans.

Di tempat yang sama, Koordinator Kontras Haris Azhar menegaskan sangat tidak layak 11 oknum Kopassus yang membunuh narapidana Lapas disebut memiliki jiwa kesatria.

"Tentara itu tugasnya pergi berperang. Tugas lain soal perang adalah memberi bantuan korban bencana dan wilayah konflik. Ini kan lembaga institusi negara. Dan situasinya tidak dalam perang. Nah yang dihadapi ini bukan musuh negara, yang bisa mengancam negara. Kalau aturan berperang itu kan kalau ada musuh bersenjata. Yang tidak bersenjata tidak boleh disiksa apalagi dibunuh. Syarat-syarat itu dan situasi tempatnya dan tugas yang dijalankan tidak menunjukkan bahwa mereka layak dikatakan kesatria," kata Haris Azhar.

Menurutnya tidak pada tempatnya 11 oknum Kopassus itu layak disebut sebagai kesatria karena membunuh.
"Persepsi ini sepertinya hendak dibangun tapi diluar logika naluri publik,"kata dia.

Lanjut Haris kasus penyerangan Lapas Cebongan masih cenderung parsial dimana proses hukumnya makin lama cenderung makin tereduksi.

"Hasil investigasi bentukan TNI-AD sangat sedikit sekali padahal perlu banyak bukti di lapangan, rekonstruksi kejadian dan sebagainya untuk menjelaskan kasus itu. Yang kita tahu baru ada keterangan dari 11 anggota oknum Kopassus,"kata Haris.

Dia juga mempertanyakan sikap Polisi yang menutup kasus Hugo Cafe's. Padahal kasus itu harusnya ikut dibongkar karena diduga kuat ada kaitan erat dengan penyerangan Lapas Cebongan.

"Ini sungguh mengecewekan," kata dia.

Di tempat yang sama, Anggota Komisi III DPR RI Indra menegaskan kasus penyerangan Lapas Cebongan mulai menemukan titik terang dengan dilansirnya 11 oknum Kopassus sebagai pelaku utama.

Namun demikian, Indra mengatakan pengusutan kasus ini tidak boleh berhenti pada 11 oknum anggota Kopassus dimaksud.

"Siapa pelaku sessunggunya. Apakah ada diatasnya lagi atau bagaimana harus diusut,"kata Indra.

Oleh karena itu, Indra berharap proses pemeriksaan dan persidangan di pengadilan militer terhadap 11 oknum Kopassus ini dilakukan secara terbuka sehingga bisa dikontrol oleh publik.

"Ini jadi batu ujian selanjutnya dan publik akan menilai apakah hukum bisa berlaku bagi siapa saja. Apapun pelanggaran itu bisa ditindak dan persidangan dibuka apakah ada pembiaran dalam penyerangan Lapas itu, bagaimana sistem komandonya dan sebagainya. Jangan-jangan ada motif lain dibalik penyerangan Lapas itu. Itulah makanya harus dibukan persidangannya,"kata Indra.

Mengenai label ksatria yang diberikan kepada 11 oknum Kopassus itu, Indra mengatakan label itu tidak bisa dilihat sebagai hal yang berdiri sendiri.
Dikatakan label itu diberikan untuk menjawab kegalauan publik terhadap praktek premanisme.

"Sebenarnya ini sentilan bagi penegak hukum bahwa ada kerinduan masyarakat agar penehak hukum tegas. Jadi meski tindakan oknum Kopassus ini salah dijadikan pembenaran dan itu harus jadi pembelajaran bagi Kepolisian. Inilah lemahnya penegakan hukum selama ini," kata dia.

Anggota Komisi I DPR RI Nurul Arifin ketika dikonfirmasi menegaskan belum ada rencana pihaknya memanggil Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jeneral Pramono Edhie untuk dimintai keterangan terkait penyerangan Lapas Cebongan ini.
"Ini menjelang masa reses dan belum ada agenda rapat," kata Nurul.

Anggota DPR RI Marsekal Madya (Purn) Basri Sidehabi menegaskan  11 oknum anggota Kopassus pelaku penyerang Lapas Cebongan jelas melanggar hukum sebab bagaimana pun Indonesia adalah adalah negara hukum sehingga tidak boleh ada individu atau pun institusi yang boleh main hakim sendiri.

Basri selaku mantan perwira tinggi di tubuh TNI menyayangkan hal tersebut namun Basri menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat apakah pantas cap ksatria ditujukan kepada 11 anggota Kopassus pelaku penyerangan Lapas Cebongan itu.

"Masyarakat saat ini banyak yang resah akibat ulang premanisme, khususnya di Jogja sendiri Gubernur pun merasa resah dengan maraknya aksi premenarisme ini, jadi tidak heran kalau ada beberapa masyarakat yang memberi apresiasi terhadap aksi penyerangan Lapas tersebut  tetapi bagaimana pun tindakan 11 anggota oknum Kopasus tersebut tidak bisa dibenarkan secara hukum,' kata Basri.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas