Tidak Ada Korupsi dalam Kasus Indosat IM2
Jaksa telah menyalahgunakan kekuasaan dan jabatan dalam peradilan kasus IM2 tersebut
Penulis: Budi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tidak ada korupsi dalam kasus IM2 yang kini disidangkan di Pengadilan Tipikor. Jaksa telah menyalahgunakan kekuasaan dan jabatan dalam peradilan kasus IM2 tersebut.
Hal ini diungkapkan mantan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sofjan Djalil saat acara forum group discussion (FGD) bertema “Solusi Rekomendasi Sinkronisasi Kelembagaan Penyelenggaraan Telekomunikasi Nasional” yang diselenggarakan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam).
"Lembaga administrasi negara dalam hal ini Menteri Penertiban Aparatur Negara (PAN) mestinya melakukan tindakan dan memberikan sanksi kepada pejabat negara yang menyalahgunakan jabatannya,” ujarnya, Minggu(28/4/2013).
Menurut Sofjan, jaksa dilarang menyalahgunakan kekuasaan dan jabatannya. Mereka ini dibayar menggunakan uang yang berasal dari pajak rakyat. Karena itu, jika para jaksa bekerja tidak mengutamakan unsur kehati-hatian dan tidak bekerja optimal, rakyat bisa menuntut.
Dalam kasus Indosat dan IM2, imbuh Sofjan, jaksa tidak melaksanakan tugasnya secara optimal. Demikian juga dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga jelas tidak melaksanakan tugasnya secara benar dan optimal. Karena setiap audit ada SOP yang harus dipenuhi.
Sofjan yakin, jika audit BPKP itu dilakukan dengan benar, pasti akan menyimpulkan tidak ada korupsi dalam PKS Indosat dan IM2.
"Angka Rp 1,3 triliun itu darimana asalnya? Jelas BPKP melaksanakan audit tidak sesuai SOP, karena semua BHP frekuensi sudah terbagi secara jelas dan ekslusif ke masing-masing operator dan semuanya membayar kewajibannya kepada negara, yang jumlah totalnya sekitar Rp 12 triliun setiap tahun," jelas Sofjan.
Dari awal Sofjan melihat, jaksa lebih mempercayai versi Deny AK yang membagi-bagi frekuensi dan jaringan. Padahal frekuensi dan jaringan itu satu kesatuan. Hal ini sudah sesuai regulasi yang ada di Indonesia dan sesuai standar ITU (International Telecommunication Union) secara internasional bahwa jaringan adalah 'end to end'.
Namun anehnya, justru jaksa lebih suka menggunakan versi Deny. Padahal jika jaksa benar-benar ingin mengusut benar tidaknya ada masalah dalam persoalan ini sangat mudah.
“Bertanyalah pada ahlinya, ada Kemenkominfo, BRTI . Tapi anehnya itu tidak dilakukan jaksa,” katanya
Sofjan menambahkan, dalam situasi hukum seperti itu, sejatinya masih untung investor, Qatar Telecomm, pemegang saham mayoritas Insodat, tidak membawa persoalan ini ke arbitrase.
“Untung mereka ini masih membawa itikad baik bagi negara ini, jika saja Qatar Telecomm mau mencari uang dan persoalan ini dibawa ke arbitrase, sama sekali tidak ada dasar kebenaran bagi Indonesia untuk menang," tegasnya.
"Kita tentu tidak ingin masalah Karaha Bodas terulang, hanya gara-gara kesalahan birokrasi, hingga membuat masyarakat Indonesia harus membayar jutaan dolar," sambungnya sembari menyatakan sudah saatnya Presiden turun tangan dalam kasus ini.
Sementara itu ahli hukum pidana dari Fakultas Hukum Trisakti, Dian Andriawan mengatakan undang-undang telekomunikasi termasuk hukum pidana khusus yang bersifat administratif atau administrative penal law.
"Dalam hal perbuatan melawan hukum di bidang telekomunikasi, UU Telekomunikasi merupakan perundang-undangan administratif, ketentuan hukum pidana dalam ketentuan administratif bertujuan agar administrasi itu ditaati. Sifat pidananya ultimum remedium, artinya menjadi sarana terakhir setelah diberlakukannya sarana hukum lain, yakni hukum perdata dan hukum administrasi," jelas Dian.
Dia menambahkan, penggunaan hukum pidana dalam penyelesaian kasus hukum di wilayah undang-undang telekomunikasi harus hati-hati termasuk penanganan kasus yang di dalamnya terdapat unsur kerugian negara. Penerapan sanksi pidana yang tidak tepat dapat melanggar hak asasi dan sangat merugikan pihak yang dikenai sanksi tersebut.
Menurut Dian, memang dalam praktek kadang kala ditemukan adanya penyimpangan karena kesalahpahaman dalam menafsirkan hukum. Namun, jaksa juga seharusnya paham menyamakan perbuatan melawan hukum administrasi dengan hukum pidana bertentangan dengan asas lex specialis derogat legi generali.
"Pelanggaran hukum administrasi yang menimbulkan kerugian negara tidak dapat secara serta merta masuk dalam UU PTPK (Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Sesuai ketentuan hukum administrasi, ada mekanisme penyelesaian yang secara administrasi diatur di dalamnya," ujarnya.
"Penyimpangan UU Telekomunikasi yang diduga terdapat kerugian negara di dalamnya, sangat tidak tepat diberlakukan ketentuan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Karena hal ini sama halnya dengan penegakan hukum membabi buta yang tidak memperdulikan dan menghormati adanya asas-asas hukum yang merupakan jiwa dari aturan hukum tersebut," katanya.