Luhut : Diprotes, Surat Dakwaan JPU Diubah Diam-diam
Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus dugaan penyalahgunaan frekwensi 3G, mengubah surat dakwaan yang dilakukan secara diam-diam
Editor: Budi Prasetyo
Kasus Penyalahgunaan Frekwensi IM2-Indosat
TRIBUNNEWS.COM JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus dugaan penyalahgunaan frekwensi 3G, mengubah surat dakwaan yang dilakukan secara diam-diam sehingga surat tuntutan berubah jadi surat dakwaan.
Hal ini dikemukakan Pengacara Indar Atmanto sekaligus IM2 dalam kasus dugaan penyalahgunaan frekwensi 3G, Luhut Pangaribuan
“Ini melanggar pasal 144 ayat 2 KUHAP, yang menyebutkan bahwa perubahan surat dakwaan hanya dapat dilakukan selambat lambatnya 7 hari sebelum sidang dimulai,” kata Luhut, sabtu (15/6/2013).
Namun yang lebih penting menurut Luhut adalah, dengan perubahan surat tuntutan itu, secara tidak langsung JPU mengakui bahwa perkara ini merupakan sengketa administrasi, dimana rujukan JPU di surat tuntutan mengacu pada pasal peraturan yang berkaitan dengan sanksi administratif, seperti di sebutkan di pasal 45 UU Telekomunikasi. JPU juga merujuk pada pasal 34 ayat 1 UU Telekom jo. pasal 29 ayat 1 jo. pasal 30 pp no. 53 tahun 2000
Tuduhan Luhut itu diperkuat ahli hukum administrasi negara Yusril Ihza Mahendra yang menilai jaksa telah salah memahami aturan hukum, terutama hukum administrasi negara.
Yusril menegaskan jaksa dalam kasus itu tidak pernah memperhatikan aspek administrasi negara terutama undang-undang telekomunikasi.
Dia menyatakan, bisnis telekomunikasi sudah memiliki aturan tersendiri sehingga tidak bisa begitu saja ditarik ke ranah pidana. "Jaksa tidak perhatikan aspek administrasi negara, telekomunikasi diatur uu tersendiri," tegas Yusril .
Dikatakannya frekuensi telekomunikasi yang dipegang Indosat kemudian diberikan kepada Indosat M2 sudah benar dan tidak menyalahi aturan lantaran Indosat mengikuti proses tender sehingga memiliki hak memakai frekuensi itu untuk kemudian disewakan ke pihak lain dalam hal ini IM2 sebagai penyelenggara jasa internet.
"Kalau diberikan frekuensi tertentu sebagai satu perusaaan, dia kerjasama dengan pihak lain, itu sifatnya bukan menyerahkan tapi dia melakukan satu kerjasama, memanfaatkan frekuensi itu," tandasnya.
Sebagai pemegang frekuensi, Indosat sudah membayar PNBP sehingga penyewa frekuensi itu tak perlu membayar lagi. Logika sederhananya, Yusril menjelaskan, seperti orang yang menyewa rumah kemudian dia tak dibebankan untuk bayar PBB cukup si pemilik saja.
"Penerimaan negara bukan pajak itu tidak serta-merta dapat ditagih. Itu juga baru dapat ditagih jika sudah ditetapkan peraturan pemerintah. PP soal frekuensi juga belum ada. Kalau PP belum dikeluarkan, sementatara Indosat sendiri sudah dikenakan PNBP, maka IM-2 tidak perlu bayar. Begitu frekuensi diberikan, Indosat punya hak ekslusif. Jadi kalau dikatakan IM2 tidak bayar PNBP memang tidak perlu bayar. Jika Indosat dan IM2 bayar PNBP justru akan jadi dobel dan malah dipertanyakan," kata Yusril.
Dia menegaskan, kasus Indosat memiliki kemiripan dengan Sisminbakum. Karena akses fee Sisminbakum bukan PNBP, tidak ada acuan dari peraturan pemerintah, Alhasil, uang itu tetap milik swasta.