BBM Naik, Pemerintah Dinilai Bohongi Rakyat
Aktivis 98 Nuryaman Berry Hariyanto mengatakan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM telah melanggar konstitusi.
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Aktivis 98 Nuryaman Berry Hariyanto mengatakan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM telah melanggar konstitusi. Pasalnya pemerintah justru melakukan kejahatan konstitusi dalam tata kelola dan tata niaga Migas. Pemerintah telah menempatkan Migas sebagai salah satu cabang produksi yang dikuasai asing atas nama pasar bebas.
”Pelanggaran konstitusi turunannya adalah semena-menanya pemerintah terhadap undang-undang. Artinya, ketika BBM subsidi dinaikkan jadi Rp 6.500 tapi pemerintah belum membuka soal harga pokok produksi,” kata Berry, Sabtu (29/6/2013).
Menurut Berry, adalah kebohongan publik jika pemerintah menyebut harga BBM di Indonesia adalah yang paling murah jika melihat kualitasnya yang buruk. Selain itu, masih banyak lagi kebohongan pemerintah yang selama ini dibiarkan rakyat.
”Kita ini penghasil minyak mentah, kita itu nomor dua setelah Venezuela. Tidak mungkin sebagai penghasil minyak mentah APBN jebol. Kenaikan BBM bersubsidi itu pembodohan publik,” tutur Berry
Kritikan soal kenaikan BBM juga disampaikan oleh mantan Kepala Staf TNI AD Jend. Purn. Ryamizard Ryacudu dalam Dialog Publik bertema ”Kenaikan BBM dan Kejahatan Konstitusi” di Balai Kartini,
Ryamizard mengatakan Indonesia kedepan bisa lebih stabil menjaga stabilitas ekonomi terkait kemandirian dan ketahanan energi sehingga mampu keluar dari ketergantungan impor. Seperti diketahui, saat ini 2/3 persen BBM yang dikonsumsi dalam negeri didapat dari impor.
”Sehingga pengelolaan energi harus dikelola dengan baik agar bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Ini penting untuk peningkatan ekonomi dan ketahanan nasional,” jelas Ryamizard.
Di tempat yang sama, mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Kwik Kian Gie mengatakan pemberian kompensasi oleh pemerintah atas kenaikan harga BBM atau bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) tidak lebih dari sekadar pencitraan elite politik tertentu.
”BLSM itu omong kosong, tidak berdasarkan perhitungan matang karena memang kepentingan sebenarnya untuk pencitraan semata,” tutur Kwik.