Mantan Direktur Utama IM2 Minta Sidang Terbuka
Tim penasihat hukum Indar, meminta hakim menggelar sidang terbuka dan disaksikan masyarakat.
Penulis: Edwin Firdaus
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2) Indar Atmanto, mengajukan memori banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta, Senin (19/8/2013), atas vonis hakim Tipikor pada Juli lalu.
Tim penasihat hukum Indar, meminta hakim menggelar sidang terbuka dan disaksikan masyarakat.
Luhut MP Pangaribuan, pengacara Indar menjelaskan, selama ini kebiasan pemeriksaan perkara banding hanya terbatas pembahasan dokumen-dokumen. Hakim PT jarang memeriksa keterangan saksi-saksi dan ahli yang pernah dihadirkan di pengadilan.
"Karena itu, kami meminta hakim memeriksa dan mendengarkan secara langsung saksi-saksi maupun saksi ahli. Ini menjadi penting, karena di persidangan Tipikor keterangan mereka sama sekali tidak didengar," ujarnya kepada wartawan, Senin (19/8/2013).
Menurut Luhut, meski tak lazim dipraktikkan, cara ini sudah sesuai hukum acara. Ia berharap dengan dibukanya sidang kembali, masyarakat bisa melihat proses peradilan yang adil dan transparan.
Dalam memori banding, Luhut menjabarkan ada dua poin penting yang disampaikan kepada hakim. Pertama, terkait aspek materiil, yakni tidak ada unsur korupsi dalam kerja sama jaringan Indosat-IM2.
"Sedangkan aspek formil, hakim Pengadilan Tipikor tidak berwenang memeriksa perkara ini, karena kasus ini menyangkut masalah hukum administrasi negara, bukan korupsi," tuturnya.
Karena itu, Luhut meminta putusan hakim Pengadilan Tipikor pada Senin (8/7/2013) atas Indar dibatalkan, dan meminta hakim PT menyatakan hakim Tipikor tidak berwenang memeriksa perkara administrasi negara.
Pada akhir Juli lalu, Pengadilan Tipikor memvonis mantan Direktur Utama IM2 Indar Atmanto, dengan hukuman empat tahun penjara, denda Rp 200 juta subsider tiga bulan penjara.
Hakim menilai Indar bersalah atas kerja sama jaringan 2,1 Ghz atau 3G antara Indosat-IM2.
Hakim juga menyatakan IM2 harus membayar denda sebesar Rp 1,3 triliun, karena dianggap tidak membayar biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi 2,1 Ghz atau 3G.
Proses pemeriksaan Indar di Pengadilan Tipikor dimulai sejak Januari 2013. Pemeriksaan mengacu hasil laporan Lembaga Konsumen Telekomunikasi Indonesia, yang kemudian ditindaklanjuti Kejaksaan Agung.
Sementara, laporan BPKP yang dipakai sebagai alat bukti sudah dinyatakan tidak bisa dipakai lagi oleh majelis Hakim PTUN. (*)