Istri Almarhum Munir: Habis Kata-kata Saya untuk Pollycarpus
Suciwati mengaku sudah kehabisan kata-kata.
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Suciwati, janda mendiang aktivis Hak Asasi Manusia dan pegiat hak asasi manusia Munir Said Thalib, mengaku sudah kehabisan kata-kata.
Dia enggan mengomentari putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) Pollycarpus Budihari Priyanto.
"Sudah habis kata-kata saya untuk Pollycarpus. Saya tidak mau mengomentari hal tersebut. Silakan bung hubungi kawan-kawan Kasum (Komite Solidaritas untuk Munir) terkait hal itu," kata Suciwati kepada TRIBUNnews.com, Senin (7/10).
Pollycarpus adalah mantan pilot Garuda Indonesia yang diputus pengadilan terbukti secara sah membunuh Munir dengan cara meracunnya saat dalam penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda.
Alhasil, pegiat Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) itu meninggal di dalam pesawat, 7 September 2004.
Mahkamah Agung (MA) menerima peninjauan kembali (PK) yang diajukan terpidana pembunuh Munir Said Thalib, Pollycarpus. Pollycarpus mengajukan PK atas putusan PK yang diajukan Kejaksaan Agung.
Padahal sebelumnya, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PK Kejaksaan Agung dan menghukum Pollycarpus 20 tahun penjara. Belum diketahui apa isi amar putusan PK terakhir ini.
Assegaf, kuasa hukum Pollycarpus, Minggu (6/10) malam, membenarkan soal dikabulkannya permohonan PK Pollycarpus. Namun, Assegaf dan keluarga Pollycarpus belum mengetahui vonis yang harus dijalani kliennya.
"Kami belum tahu, apakah dikabulkan itu berarti tidak bersalah, atau bagaimana. Kami belum tahu dan ini kami harap-harap cemas. Bahagia, tapi juga khawatir karena hanya ada kata dikabulkan," ujar Assegaf.
Pengabulan Peninjauan Kembali Pollycarpus, pembunuh aktivis HAM Munir Said Thalib oleh Mahkamah Agung, dinilai mencederai rasa keadilan.
Koordinator Komite Solidaritas untuk Munir (Kasum) Choirul Anam mengatakan, aktivis maupun keluarga besar Munir merasa dikecewakan Mahkamah Agung.
"Kami kecewa, karena pengabulan PK Pollycarpus itu menciderai prinsip keadilan. Seharusnya, MA tak mengabulkan PK itu, karena dia sudah terbukti membunuh alamarhum Munir," kata Choirul Anam.
Secara hukum, Pollycarpus sudah terbukti dalam persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Tinggi Jakarta maupun MA menjadi orang terpenting dan paling bertanggungjawab atas kematian pegiat hak asasi manusia tersebut.
"Logika hukum yang dibenarkan pengadilan sebelumnya ialah, kalau tidak ada Pollycarpus, maka Munir tak akan mati diracun. Jadi, bisa dikatakan, Pollycarpus menjadi penentu apakah Munir mati atau tidak. Karenanya, pengabulan PK dia saat ini, kami nilai tidak fair (adil)," katanya.
Anam menuturkan, keputusan MA pada tahun 2008 yang menerima PK dari Kejaksaan Agung (Kejagung) dan menghukum Pollycarpus 20 tahun penjara sudah tepat secara prosedural maupun prinsipil.
"Kejagung memang berhak mengajukan PK kepada MA. Kami juga bisa menerima keputusan MA saat itu. Karenanya, pihak Pollycarpus sebenarnya tak berhak mengajukan PK terhadap PK tersebut," ujar Chairul.
Kuasa hukum Pollycarpus, M Assegaf, mengatakan terdapat alasan-alasan kuat untuk mengajukan PK atas PK Kejagung tersebut.
Ia mengatakan, ada sejumlah kejanggalan dalam putusan PK MA pada 2008 lalu yang menghukum kliennya selama 20 tahun penjara.
Mahkamah Agung (MA) membenarkan telah mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan terpidana penjara 20 tahun Pollycarpus.
"Telah diputus pada tanggal 2 Oktober dengan putusan kabul, dihukum 14 tahun penjara," ujar Rudi Sudianto Kabag Humas MA kepada wartawan di MA, Jakarta, Senin (7/10).
Munir Said Thalib lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965 dan meninggal di dalam pesawat rute Jakarta ke Amsterdam, 7 September 2004 pada umur 38 tahun.
Ia pria keturunan Arab yang menjadi pegiat aktivis HAM Indonesia. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial.
Saat menjabat Dewan Kontras namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus.
Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim Mawar.
Saat itu, Munir akan melanjutkan studi S2 bidang hukum humaniter di Universitas Utrecht, Belanda.