Lima: Tak Lagi Genting, DPR Harus Tolak Perppu Soal MK
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia, Ray Rangkuti, menilai dua alasan ini didefenisikan presiden sebagai ihwal genting
Penulis: Y Gustaman
Editor: Gusti Sawabi
TRIBUNnews.com, JAKARTA - Setelah sekian hari, akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono resmi mengumumkan keluarnya Perppu No 1 Tahun 2013 Tentang Pemulihan Citra Mahkamah Konstitusi di Jogjakarta, Kamis (17/10/2013). Tapi tak sedikit yang meminta Perppu itu harus ditarik kembali.
Dalam siaran pers presiden dinyatakan ada dua alasan yang dijadikan dasar enerbitkan perpu, yakni hasil pertemuaan dengan lembaga tinggi negara dan perlunya menjaga kepercayaan masyarakat terhadap MK, khususnya menjelang pemilu 2014 yang akan datang.
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia, Ray Rangkuti, menilai dua alasan ini didefenisikan presiden sebagai ihwal genting yang memaksa sebagai syarat diterbitkannya perppu. Tapi, karena dua alasan ini juga menjadi urgensi untuk menolak diterbitkannya perppu.
"Pertama soal menjaga kepercayaan dan wibawa MK yang luntur merupakan sesuatu tak jelas apa alat ukurnya. Tentu saja ada kekecewaan pun juga bisa muncul ketidakpercayaan pada produk putusan MK. Tetapi bagaimana mengukur dengan jelas dan tepat bahwa kadar kekecewaan dan ketidakpercayaan itu telah sampai ke tahap situasi bangsa dalam keadaan genting," ujar Ray di Jakarta, Jumat (18/10/2013).
Dalam argumennya, kata Ray, presiden tak terlihat secara ekplisit menjelaskan ukuran genting yang memaksa itu, kecuali dalam asumsi bahwa ada kepercayaan masyarakat yang merosot dan akan dilaksanakannya pemilu tahun 2014.
Padahal justru secara faktual, asumsi itu terbantahkan. Sejak kasus Akil tertangkap tangan, MK tetap bekerja sampai sekarang. Dalam dua minggu sejak kasus ini terjadi, MK bahkan sudah memutus beberapa perkara sengketa. Sejauh ini pula tak ada reaksi penolakan atau pengabaian masyarakat atas putusan tersebut.
Bahkan pada permohonan sengketa di mana Akil menjadi tersangka suap, putusan hukumnya kemudian telah ditetapkan MK dan kiranya dapat diterima dan dilaksanakan masyarakat. Jika begitu, di manakah wibawa MK yang merosot itu hingga membuat suasana bangsa berada dalam kegentingan.
Sekalipun hakim MK tinggal delapan, dua diantaranya, saat ini, juga tengah dipanggil KPK sebagai saksi, tapi faktanya tak menganggu kinerja MK. Jadi dari segi kinerja dan hasil kerja, keseluruhannya masih dapat ditangani oleh MK. Lagi-lagi, apa alat ukur presiden menilai ada kegentingan yang memaksa dalam hal ini.
"Kedua, jika presiden rajin dan cermat menyimak, yang menjadi pertanyaan masyarakat bukanlah soal putusan hukum MK secara keseluruhan. Tapi hanya berkisar pada putusan MK di mana Akil menjadi hakim panelnya. Artinya, ketidakpercayaan masyarakat pada MK masih terbatas, hanya berkutat pada soal putusan MK yang melibatkan Akil sebagai Hakim Panel. Maka dari itu, yang mencuat justru suara agar perpu tak perlu dikeluarkan dan sebaiknya perbaikan MK dilalukan melalui revisi UU MK," terang Ray.
Jika itu faktanya di lapangan, maka dari manakah kiranya kegentingan itu disematkan? Kegentingan itu terlihat seperti imajinasi yang dikembangkan sendiri oleh presiden dan lalu disebarkan melalui perpu yang diterbitkan.
Ketiga, untuk alasan karena adanya kesamaan pandangan di antara para pemimpin negara juga tidak dapat dijadikan sebagai landasan. Setidaknya, karena seperti dinyatakan di atas, faktanya di lapangan unsur kegentingannya sudah hilang, juga ada reaksi yang cukup luas di DPR untuk menolak diterbitkannya perpu oleh presiden.
Sejauh yang terekam, setidaknya fraksi PDIP, Golkar, PKS, Hanura, PPP, dan Gerinda lebih mendukung agar dilakukan revisi terbatas atas UU MK dari pada diterbitkannya perpu. Tentu saja para pimpinan lembaga negara tersebut, khususnya legislatif, unsur pimpinannya tidak dengan sendirinya mewakili anggota legislatif secara keseluruhan.
Jadi sekalipun misalnya unsur pimpinan DPR/DPD menyatakan setuju dengan penerbitan perpu, tidak dengan sendirinya hal itu merupakan sikap DPR secara keseluruhan. Suara pimpinan legislatif tetap saja hitungannya adalah satu.
Keempat, dengan semua pertimbangan ini, dapat disimpulkan alasan-alasan genting yang menghajatkan dikeluarkannya perpu lebih banyak didasarkan pada asumsi dan imajinasi dari pada fakta di lapangan. Sekalipun prinsip dan subtansi isi perpu merupakan ide yang tepat, tetapi menetapkan ide tersebut melalui perpu yang tidak jelas dasarnya merupakan kekeliruan yang pantas untuk ditolak. Ide-ide tepat sejatinya ditetapkan melalui jalan yang tepat pula. Jalan yang mengundang partisipasi dan pelibatan masyarakat secara menyeluruh.
Makanya, DPR harus menolak perpu ini diterbitkan. Pandangan dan sikap mengemuka dari DPR yang lebih menginginkan dilakukannya revisi terbatas terhadap UU MK merupakan pilihan yang lebih tepat. Bukan saja karena pentingnya lembaga tinggi negara dijaga dari pengaturan setingkat perpu tetapi juga agar revisi UU MK bisa dilakukan secara objektif.
"Menemukan masalah yang tepat dan memberinya jawaban yang pas bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan dengan dua atau tiga minggu. Tetap dibutuhkan ketenangan emosional dan pikiran yang tak gundah untuk menyusun jawaban yang pas dari persoalan yang kita hadapi saat ini. Dengan begitu, kita menghindari bongkar pasang UU karena salah analisis dan solusi," tegasnya.