Politisi PKS : Majelis Kehormatan MK Ancam Kemandirian Hakim MK
Aboebakar Alhabsy, menilai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2013 tentang MK harus dilihat dari dua sisi.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Gusti Sawabi
Tribunnews.com, Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS, Aboebakar Alhabsy, menilai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) harus dilihat dari dua sisi.
"Sisi pertama dari sisi kontennya dan sisi yang kedua dari konteks bentuknya," kata Aboebakar dalam keterangan tertulis, Jumat (18/10/2013).
Soal ini, Aboebakar mengatakan ada tiga isu utama yang diatur oleh Perppu tersebut yaitu persyaratan hakim MK yang tidak boleh menjadi anggota parpol selama 7 tahun seebelumnya.
"Kedua mengenai mekanisme seleksi yang menggunakan panel ahli. Ketiga, dibentuknya Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang dibentuk permanen untuk melakukan pengawasan terhadap hakim MK," kata Aboebakar.
Mengenai persyaratan hakim MK yang tidak boleh menjadi anggota parpol 7 tahun sebelum diusulkan, Aboebakar berpendapat itu cukup baik.
"Hal ini untuk meningkatkan independensi hakim, agar meyakinkan publik bahwa mereka tidak terkontaminasi oleh kepentingan politik," kata Aboebakar.
Namun, lanjut dia, bila mau konsisten seharusnya calon juga dipersyaratkan tidak boleh menjadi aparatur negara atau PNS selama 7 tahun sebelumnya.
"Karena MK tidak hanya menyidangkan persoalan politik, namun juga materi yang berhubungan dengan pemerintahan," kata dia.
Menurutnya pembentukan panel ahli memang bagus untuk menjaga kualitas hakim MK, agar ada standarisasi kemampuan melalui uji keahlian dibidang hukum dan konstitusi.
"Sedangkan pembentukan MKHK menurut saya tidak tepat, karena pengaturan yang serupa sudah pernah disidangkan oleh MK, yang kemudian pasal tersebut dibatalkan," kata Aboebakar.
Lanjut Aboebakar adanya Pasal yang mengatur komposisi majelis kehormatan hakim MK dengan memasukkan unsur DPR, pemerintah, MA, KY secara permanen justru akan mengancam dan mengganggu kemandirian hakim MK.
"Adanya keempat unsur itu berpotensi menimbulkan konflik kepentingan karena mereka dapat menjadi pihak yang berperkara di MK," katanya.
Soal perubahan UU MK melalui Perppu, Aboebakar merasa itu tidak pas karena sebenarnya tiga konten yang berkaitan dengan, persyaratan hakim MK, penjaringaan dan seleksi, serta pengawasan hakim MK lebih cocok diatur dalam revisi UU MK.
"Saya belum melihat ada urgensi yang mendesak, karena MK masih bisa berjalan normal dengan delapan hakim konstitusi yang ada. Belum ada hal ikhwal yang memaksa yang menyebabkan kelumpuhan MK, yang pada kondisi tersebut menuntut presiden mengeluarkan perpu," Aboebakar menegaskan.
Memang, imbuhnya, hal ikhwal yang memaksa dalam syarat penerbitan perpu adalah hak subyektif presiden, yang nantinya akan diuji secara obyektif oleh DPR sebagaimana ketentuan pasal 22 ayat 2 UUD 1945.
"Namun mengenai persyaratan, seleksi serta penjaringan masih bisa dilakukan dengan UU Mk yang ada. Bilapun ingin dilakukan revisi dapat ditempuh jalur reguler sebagaimana diatur dalam UU no 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," pungkas Aboebakar Alhabsy.