UU Perlindungan Korban Eksploitasi Seksual Harus Diamandemen
Negara-negara Asia Tenggara diharapkan segera melakukan amandemen peraturan terkait perlindungan hukum bagi anak-anak korban eksploitasi seksual.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Negara-negara Asia Tenggara diharapkan segera melakukan amandemen peraturan perundang-undangan terkait perlindungan hukum bagi anak-anak korban eksploitasi seksual.
Amandemen itu berupa memasukkan ketentuan rinci dan tegas dalam perundangan-undangan negara masing-masing tentang pemberian ganti rugi finansial kepada anak korban eksploitasi seksual komersial. Selain itu, perlunya rehabilitasi kesehatan dan kejiwaan, serta perlindungan saat anak menjalani proses hukum.
Beberapa usulan amandemen ini merupakan simpulan dari “Konferensi Regional Perlindungan Hukum bagi Anak Korban Eksploitasi Seksual di Asia Tenggara” diselenggarakan End Child Prositution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia dan Kedutaan Besar Prancis untuk Indonesia di Hotel Mercure, Nusa Dua Bali, pada 23-24 Oktober 2013.
Pertemuan yang melibatkan 90 peserta, terdiri dari polisi, jaksa, hakim, pengacara, akademisi, jurnalis dan aktivis perlindungan anak dari 14 negara.
Selama dua hari, para partisipan berbagi pandangan dan pengalaman terkait penerapan perlindungan hukum bagi anak korban eksploitasi seks komersial.
Ahmad Sofian, Koordinator ECPAT Indonesia, menjelaskan, pemberian ganti rugi finansial bagi anak korban eksploitasi seksual komersial menjadi perhatian konferensi.
Ahmad mengatakan, dalam pertemuan ini disimpulkan, pelaku kejahatan seksual anak tak hanya cukup dipenjarakan saja namun juga wajib membayar ganti rugi. Melalui pengadilan, negara dapat menyita harta pelaku untuk diserahkan kepada korban, keluarga atau ahli warisnya.
"Jika pelaku tidak dapat membayar maka tanggungjawab membayar gantu rugi dialihkan kepada negara," kata Sofian dalam keterangan tertulisnya yang diterima Tribunnews.com, Jumat (25/10/2013).
Konferensi juga menyorot kemampuan aparatur penegak hukum dalam menangani kasus-kasus kejahatan seksual yang menimpa anak. Menurutnya, polisi, jaksa, hakim misalnya, mesti memiliki kecakapan dalam berkomunikasi dengan korban.
"Mereka mesti menguasai teknik wawancara. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan saat berhadapan dengan korban jangan membuat anak semakin menderita, karena diminta menjelaskan peristiwa kejahatan seksual yang menimpa diri mereka secara berulang-ulang," katanya.
Lainnya, anak-anak korban eksploitasi seksual memiliki hak mendapatkan fasilitas terapi dan rehabilitasi kesehatan guna memulihkan dirinya dari dampak kejahatan seksual yang menimpa mereka.
Ahmad menambahkan, hasil konferensi ini tidak mengikat negara-negara di Asia Tenggara, namun dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah masing-masing dalam menyusun perubahan peraturan yang berpihak pada anak korban eksploitasi seksual.
Selanjutnya, ECPAT Indonesia akan membawa simpulan konferensi kepada Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Hukum dan HAM serta parlemen agar dapat ditindaklanjuti sebagai bahan masukan untuk amandemen peraturan perundang-undangan perlindungan anak yang ada.