200 Ribu Buruh Terkena PHK
Walaupun jutaan buruh mogok bekerja, pengusaha berharap pemerintah tidak mudah menaikkan upah buruh.
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mogok nasional yang dilakukan buruh pada 31 Oktober dan 1 November 2013 di seluruh Indonesia, membuat proses produksi di perusahaan maupun pabrik-pabrik terhenti. Walaupun jutaan buruh mogok bekerja, pengusaha berharap pemerintah tidak mudah menaikkan upah buruh.
Sebab kenaikan upah akan berdampak pada kesulitan keuangan perusahaan yang mungkin berimbas pada pemutusan hubungan kerja (PHK) buruh.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan semua buruh yang tergabung dalam serikat pekerja mempunyai hak mogok. Hal itu bisa dilakukan para serikat pekerja jika tidak puas dengan pemberi kerja.
"Mogok itu hak serikat pekerja," ujar Sofjan Wanandi kepada TRIBUNnews.com, Kamis (31/10).
Kendati mempunyai hak mogok kerja, Sofjan mengimbau agar para pekerja jangan mengajak pekerja lainnya yang masih ingin bekerja untuk bolos. Pasalnya hal itu akan menurunkan produksi dan menghambat laju perekonomian. "Tapi kami minta serikat pekerja tidak memaksakan teman mereka untuk tidak bekerja," ungkap Sofjan.
Sofjan menambahkan mogok boleh dilakukan jika perundingan antara serikat pekerja dan pemberi kerja tidak menemukan kesepakatan. Sofjan pun sangat menyayangkan sikap serikat pekerja yang memaksa pegawai lain untuk ikut mogok.
"Memang kemarin ada sweeping. Kami sesalkan kok dipaksakan. Sesuai UU mogok dilakukan jika perundingan gagal. Ini aja masih berjalan," papar Sofjan.
Sofjan Wanandi memprediksi dampak kenaikan upah buruh bakal membuat perekonomian negara menurun. Bahkan, jika upah terus-terusan naik maka pengangguran akan bertambah.
Hal yang mendorong pengangguran bertambah karena investor dan pemberi kerja tak mampu memberikan upah yang diinginkan buruh. Dampak dari hal tersebut perusahaan yang tak mampu memberi upah tinggi harus gulung tikar dari Indonesia.
"Pengalaman tahun lalu pahit, investor pergi. Sebanyak 200 ribu orang kita di-PHK pada semester pertama tahun ini," ujar Sofjan Wanandi.
Investor yang hengkang dari dalam negeri, pindah ke negara-negara tetangga. Pasalnya upah buruh di negara luar Indonesia lebih murah. "Pengusaha tekstil dan garmen banyak yang pindah ke Korea dan Kamboja. Sebab, upah buruh di dua negara tersebut 40 dolar AS. Sementara di Indonesia 200 dolar AS," ungkap Sofjan.
Sofjan mengungkapkan pengangguran di Indonesia bakal bertambah 9 juta-10 juta orang. Jika tuntutan buruh diberikan pemerintah, otomatis akan merusak iklim investasi. Ia meminta, serikat pekerja jangan merusak suasana dan iklim investasi.
Sofjan meminta pemerintah jangan sembarangan menaikkan upah buruh. Upah buruh dinaikkan bukan karena aksi mogok dan demonstrasi, melainkan karena tingkat kesejahteraan.
Jika upah buruh dinaikkan karena latar belakang aksi dari serikat pekerja, Sofjan menilai hal tersebut akan merusak iklim investasi dalam negeri. Dampak tersebut otomatis menurunkan laju peningkatan perekonomian negara. "Saya tidak ingin pengupahan didasarkan demonstrasi. Iklim investasi dunia sedang tidak baik, jangan kita merusak lagi," ungkap Sofjan.
Presiden Konfedrasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) merangkap Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Said Iqbal menmbantah, kenaikan upah buruh akan mengancam buruh terkena PHK.
"Siapa yang bilang akan terjadi PHK besar-besaran jika upah naik besar? Siapa yang setiap saat menggembar-gemborkan perusahaan akan hengkang jika buruh selalu memperjuangkan tuntutannya. Saya minta, hentikan kebohongan itu. Hentikan kebohongan itu," ujar Saad Iqbal sebagaimana dimuat situs FSPMI.
"Upah buruh di Indonesia hanya lebih baik dari Kamboja dan Vietnam. Sedangkan dua negara ini baru saja merdeka. Tetapi bandingkan dengan Thailand dan Filipina, upah kita masih lebih kecil dari mereka. Mohon maaf, bahkan upah minimum buruh kita upahnya masih lebih murah ketimbang para pembantu rumah tangga di Singapura," kata Said Iqbal.
"Hilang harkat dan martabat bangsa kita karena upah yang murah itu. Andaikan di sini upahnya layak, tentu mereka tak akan mau menjadi pembantu. Meninggalkan tanah air yang dicintainya ini. Periksa petani kita nun jauh di sana. Di pelosok-pelosok. Mereka kehilangan tanah. Terampas oleh perkebunan-perkebunan besar. Maka mari kita berjuang untuk tanah bagi kaum tani," seru Said Iqbal. (tribunnews/way/faj)